Pentingnya Vaksin MMR: Pelajaran dari ‘The Measles Machine’

Setelah shalat Jumatan, di salah satu sudut masjid di Liverpool, ada pemeriksaan tensi darah gratis dan edukasi kesehatan. Saya disuguhi lembaran informasi yang tidak biasa: sebuah leaflet berjudul “The Measles Machine”. Di negara yang sering kita pandang sebagai contoh majunya pendidikan dan kesadaran kesehatan, ternyata isu tentang campak dan vaksin MMR masih menjadi topik yang hangat. Daripada lembaran ini hanya berakhir di sampah, saya hanya ingin berbagi tentang isi leaflet ‘Measles Machine’ ini.

Apa Itu Campak (Measles)?

Campak, dikenal juga sebagai measles, adalah musuh kecil yang gak kelihatan mata tapi efeknya wah banget bagi kesehatan. Ini adalah salah satu penyakit paling menular di dunia. Gampang banget menyebar lewat batuk dan bersin dari orang yang terinfeksi. Bayangin, virus campak bisa terbang bebas di udara, nempel di barang-barang di sekitar kita dan menanti korban selanjutnya.

Campak Menyerang Sistem Kekebalan Tubuh

Virus campak itu cerdik, dia langs’target ke sistem kekebalan tubuh kita. Biasanya, sistem imun itu benteng pertahanan kita, tapi ketika campak datang, dia bisa bikin sistem itu kerja buat dia. Virus campak menyusup dan ‘mengambil alih’ sel-sel yang seharusnya melindungi kita, malah membuatnya jadi tempat untuk berkembang biak.

Gejala-gejala Campak

Kalau kita lagi berhadapan dengan campak, tubuh bakal memberi tanda-tanda seperti:

  • Demam tinggi
  • Mata merah dan berair
  • Batuk kering
  • Pilek
  • Infeksi telinga
  • Ruam merah yang muncul 3-5 hari setelah gejala pertama dan biasanya dimulai dari kepala.

Komplikasi yang Ditimbulkan Oleh Campak

Gak main-main, campak ini bisa bikin komplikasi serius loh, seperti pneumonia, meningitis, kejang, dan pembengkakan otak atau encephalitis. Buat ibu hamil, virus ini bisa menyebabkan keguguran, kelahiran prematur, sampai berat lahir rendah pada bayi.

Bagaimana Komunitas Harus Berhenti Menyebarluaskan Campak

Sekarang kita tahu musuhnya, saatnya kita tau cara mengalahkannya. Vaksin MMR adalah hero yang kita butuhkan untuk menghentikan penyebaran campak. Vaksin ini sudah terbukti aman dan efektif. Penelitian telah menunjukkan bahwa vaksin MMR tidak ada hubungannya dengan autisme, salah satu misinformasi yang sering bikin orang ragu buat vaksin.

Mengatasi Misinformasi di Masyarakat

Masih banyak mitos yang beredar di masyarakat tentang vaksin MMR, tapi kita perlu edukasi yang bener. Data dan fakta medis menunjukkan bahwa vaksin MMR itu penting dan aman. Kita harus menjadi bagian dari gerakan untuk menyebarkan informasi yang tepat, untuk melindungi diri kita, keluarga, dan komunitas dari campak dan komplikasinya.

Semoga bermanfaat dan salam sehat selalu..

Navigating the Future of Health Economics: Reflections from INA-HEA 2023

As Jakarta buzzed with the converging minds of health economists and policymakers, the 8th INA-HEA Biennial Scientific Meeting offered a profound glimpse into the evolving landscape of Indonesia’s health sector.

In the grand halls, Isa Rachmatarwata, representative from the Director-General of Budget at the Ministry of Finance, presented a compelling narrative about Indonesia’s economic challenges and health sector prospects. Despite the looming threat of the middle-income trap, Rachmatarwata suggested that sustained economic growth could be achieved by boosting productivity through strategic health investments. Anchoring his argument on the recent COVID-19 pandemic, he illustrated the government’s pivot towards health, with an emphasis on equitable access to prevent any citizen from being left behind.

The conference also shone a spotlight on the country’s strides towards Universal Health Coverage (UHC). With a remarkable 94% coverage rate as of mid-2023, the JKN program’s success story was a testament to the nation’s commitment. Yet, the discourse was not without its concerns. The burgeoning issues of chronic and non-communicable diseases laid bare the need for a paradigm shift towards sustainable health financing and robust public-private partnerships.

The demographic trends presented by Timothy Miller from the UN painted a picture of a future where the elderly population could potentially reshape the economic and social structures. With birth rates declining, a significant portion of health spending will inevitably be directed towards this growing demographic, posing a significant challenge for Indonesia’s health spending.

Amid the discussions, the concept of ‘active-healthy ageing’ was championed by Aris Ananta, serving as a clarion call to celebrate the ageing process rather than fear it. This approach underscored the need for a societal shift in how we perceive the twilight years—not as a burden but as a period of life worthy of investment and joy.

A pivotal part of the conference was dedicated to the role of Health Technology Assessment (HTA) in shaping Indonesia’s health policy. The debates were fierce and the stakes high as experts grappled with the question of integrating advanced health technologies into the JKN program. The consensus was clear: HTA should be leveraged to inform cost-effective and equitable health policy decisions, especially in a country where resources are finite.

The dengue fever sessions highlighted not just the clinical impact of the disease but its economic toll. With innovative solutions like dengue vaccines on the horizon, there was a palpable sense of urgency to address this public health threat more effectively.

The innovation dialogue, spearheaded by Prof. Laksono, addressed the critical balancing act between fostering health innovation and ensuring the sustainability of the health system. The discussions acknowledged the potential of new technologies but also their implications for health economics and policy.

The conference closed with a call to action, urging the translation of research into actionable policies. There was a shared understanding that planning, implementing research, and aligning with institutional cultures and economic realities are vital for building healthcare resilience.

As attendees dispersed, the air was thick with ideas and the responsibility of carrying these insights forward. For Indonesia, the INA-HEA 2023 was not just a conference but a stepping stone towards a future where health economics and policy evolve in tandem to build a stronger, healthier nation.

Menyadari Amanah: Memahami Ajaran Adab dalam Pendidikan Anak

Saya berkesempatan untuk Solat Jumat di hari Jumat, 8 Sept 2023 di Abdullah Quilliam Society, Liverpool. Masjid pertama di Liverpool yang didirikan oleh Abdullah Quilliam pada tahun 1889. Beliau berperan dalam mendidik masyarakat di Liverpool tentang agama Islam dan adab yang benar. Dalam khutbah, kita diingatkan tentang pentingnya amanah dan adab dalam mendidik anak-anak. Khutbah ini mengingatkan kita bahwa anak-anak kita adalah amanah dari Allah yang telah dipercayakan kepada kita sebagai orang tua. Oleh karena itu, kita memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga dan mendidik mereka dengan benar.

Sebagai orang tua, kita tidak hanya berinvestasi dalam diri sendiri, tetapi juga melalui anak-anak kita. Mereka adalah generasi penerus yang akan melanjutkan perjalanan hidup kita dan mewarisi nilai-nilai yang mereka pelajari dari kita. Salah satu bentuk investasi yang paling berharga adalah pendidikan.

Namun, pendidikan bukan hanya tentang mengajarkan mata pelajaran sekolah atau agama secara mekanis. Ini juga tentang membentuk karakter dan adab yang benar. Misalnya, kita dapat mengajarkan anak-anak kita untuk memulai setiap tindakan dengan menyebut “Bismillah” dan menulis dengan tangan kanan mereka. Selain itu, kita bisa menghadirkan Al-Quran saat mereka makan, sehingga mereka terbiasa dengan bacaan suci ini, yang akan membantu mereka memahaminya di kemudian hari.

Salah satu aspek paling penting dalam membesarkan anak adalah membentuk karakter mereka melalui adab yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Ini adalah fondasi yang kuat yang akan membantu mereka menghadapi tantangan dalam hidup dengan penuh keyakinan dan integritas.

Dengan demikian, khutbah Jumat ini mengingatkan kita bahwa menjadi orang tua adalah amanah yang besar. Dengan berinvestasi dalam pendidikan dan membentuk karakter anak-anak kita melalui ajaran adab yang benar, kita menjalankan tanggung jawab kita sebagai pelindung amanah dari Allah.

Semoga artikel ini dapat mengingatkan saya pribadi dan memberikan wawasan yang bermanfaat bagi para pembaca Anda tentang pentingnya pendidikan dan pembentukan karakter dalam mengasuh anak-anak.

Menemani Istri Melahirkan di Saat Covid-19: Aleeza

Februari 2022, Timika. Gelombang Covid-19 masih belum bisa diterka di Indonesia, bahkan di Papua yang sepertinya semua orang mulai tidak terlalu khawatir. Istri yang sudah hamil sembilan bulan sudah mulai bisa diprediksi untuk melahirkan. Pagi dini hari, dengan kepanikan karena mobil lupa diisi bensin Alhamdulillah mendapat bensin 1 galon dari Kakak. Dibantu papa mengisi yang kebetulan memang datang untuk membantu kami di Timika. Tanpa berpikir panjang, meluncur ke Rumah sakit mitra masyarakat. Di ruangan IGD, secara prosedur seluruh pasien akan diperiksa Covid-19 terlebih dahulu. Ternyata positif, bukan sekedar demam dan batuk biasa (meskipun sudah curiga karena sekeluarga anak-anak kelihatannya bergerjala lebih awal, termasuk saya).

Masuk ke ruangan khusus Covid-19 bersama ibu yang lain, saya hanya bisa menunggu di luar jendela. Pagi hari sekitar pukul 7, bidan membantu memotivasi untuk bersalin. Kata-kata yang saya bingung oleh bidan ketika itu adalah “berak! berak!” . Namun yang paling sedih, saya tidak bisa memegang tangan istri di saat dia sedang berjuang. Persaan lega ketika tangis bayi terdengar dan istri juga kelihatannya sudah tenang. Aleeza langsung dibawa ke ruangan bayi, tidak boleh bertemu dengan ibunya karena mungkin alasan Covid-19 di ruangan tersebut. Sehingga mau tidak mau mencoba untuk memeras susu untuk saya berikan ke ruangan bayi berulang kali, meski hasilnya rasanya kurang terlalu memuaskan.

Setelah dirasa stabil. Kami diperbolehkan untuk pulang. Mengurus pembayaran dengan BPJS kesehatan rasanya sangat mudah meskipun kami berasal dari Jogja dan tidak menggunakan rujukan. Tidak ada biaya yang ditagihkan untuk proses persalinan dan kamar. Namun tetap ada biaya yang harus kami bayarkan, yakni biaya pemeriksaan Covid-19 untuk ibu dan Bayi. Yah saya pikir, tidak masalahlah, meskipun agak bertanya tanya, bukankah Pemerintah telah mengeluarkan biaya yang besar untuk Covid-19? termasuk untuk layanan di rumah sakit?

Alhamdulillah semua berjalan lancar, dan terimakasih untuk teman-teman YPKMP juga yang terus mendukung juga. Saya bisa istirahat di gedung penelitian selama menunggu istri proses persalinan dan rawat inap. Aleeza Putri Firdaus, yang selalu memberikan joyfulness untuk dirinya, keluarga, dan lingkungannya.

Dimana Penguatan Klinik Pratama untuk Mengatasi Covid-19?

Sekedar pemikiran singkat beberapa minggu belakangan karena secara tidak langsung terlibat dalam layanan kesehatan Covid-19 di Klinik, beberapa penelitian tentang Covid-19 (Maternal health, paket manfaat BPJS kesehatan, testing and tracing Covid-19), dan jadi anggota Satgas Covid-19 di lingkungan RW – meski tidak aktif-. Kebetulan juga menjadi ketua Asklin Bantul.

Salut dengan komitmen pemerintah dalam mengatasi Covid-19, alokasi besar-besaran untuk mengatasi pandemi Covid-19. Begitu banyak fasilitas berubah menjadi layanan Covid-19, begitu besar biaya untuk pelayanan di Rumah sakit. Hanya dalam 7 bulan telah terverifikasi 80 ribu kasus dengan biaya 5.5 triliun rupiah (Sumber data dari BPJS kesehatan).

Di sisi lain, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) harus berjuang sendiri dengan menurunnya utilisasi karena warga yang enggan datang karena ketakutannya, atau fasilitas itu sendiri yang mengurangi jam layanan ( karena perlu waktu pembersihan dan kekuatan tenaga kesehatan menggunakan APD selama bekerja) dan memastikan fasilitas kesehatan juga tidak penuh sesak yang menjadi penyebab penularan. Dengan sistem pembayaran kapitasi sebenarnya fasilitas kesehatan bisa cukup bisa bertahan, namun tetap saja, tidak semua fasilitas kesehatan memiliki peserta yang banyak, dan masih bergantung pada pasien umum. Sehingga hal ini menjadi concern besar untuk bisa bertahan. Ditambah, sebenarnya banyak permintaan atas supply logistik untuk penanganan pasien Covid-19, tapi disayangkan sepertinya hanya difokuskan untuk fasilitas publik dan rumah sakit. Alhasil, sekarang Klinik berusaha bertahan hidup dengan jualan tes covid-19, yang saya sayangkan sebenarnya secara pribadi, karena tidak ditanggung oleh pemerintah maupun BPJS, padahal biaya yang sangat mahal, dan dibutuhkan untuk hampir banyak kegiatan (menjadi persyaratan).

Saya cuma berimajinasi, bagaimana jika alokasi anggaran untuk pengambangan fasilitas karantina, dll yang berada di luar fasilitas kesehatan, seperti wisma atlet, dan fasilitas isolasi lainnya, juga bisa dimanfaatkan untuk merenovasi FKTP. Saya yakin, fasilitas fasilitas seperti wisma atlet dan isolasi dadakan tersebut tidak akan berlanjut ketika Pandemi Covid-19 telah usai. Namun jika momentum ini digunakan untuk penguatan FKTP, minimal bayangkan bisa untuk membangun ruang isolasi tiap 1 FKTP berjumlah 5 saja , bisa untuk menampung 30rb an lebih se Indonesia (asumsi 6rb faskes klinik pratama). Lalu setelah selesai pandemi ini, tentunya jika tidak digunakan sebagai fasilitas isolasi, dapat dimanfaatkan untuk pengembangan layanan lain, seperti , layanan infeksius lain, atau bahkan ruang observasi dan tindakan (contoh persalinan). Sehingga hal ini bisa membangun kepercayaan publik terhadap FKTP dengan layanan yang semakin komprehensif, dan masyarakat tidak perlu sedikit sedikit ke rumah sakit, karena alasan keterbatasan layanan di FKTP.

Anyway, semoga kita sehat selalu.

Metode Review, No Mama No Malaria

Artikel no mama no malaria dikembangkan dari proses rapid systematic review yang dibantu oleh Mbak Dzerlin dan Mbak Puput (thanks). Berikut langkah-langkahnya. Siapa tau bermanfaat juga untuk teman-teman yang lagi ingin mengembangkan artikel berdasarkan rapid systematic review.

Review question: How is the effectiveness of intermittent preventive treatment to reduce the incidence of malaria in pregnancy?

P: pregnant women

I: intermittent preventive treatment

C: no treatment/placebo

O: malaria

S: Randomized controlled trial 

Database: Pubmed

PIO
Pregnancy (mesh)intermittent preventive treatmentMalaria (mesh)
Pregnant woman (mesh)IPT             Plasmodium (mesh)
Pregnant women (mesh)IPTpmalaria, plasmodium falciparum (mesh)
PregnantSulfadoxine-pyrimethamineMalaria, plasmodium vivax (mesh)
Pregnanc*Dihydroartemisinin-piperaquinePlasmodium ovale (mesh)
Gestation*Antimalarials (mesh)Plasmodium malariae (mesh)
 Drug combinations (mesh) 
 Sulfadoxine (mesh) 
 Pyrimethamine (mesh) 
 Dihydroartemisinin* 
 piperaquine 
PIO
(((((pregnancy[MeSH Terms]) OR (pregnant woman[MeSH Terms])) OR (pregnant women[MeSH Terms])) OR (pregnant[Title/Abstract])) OR (pregnanc*[Title/Abstract])) OR (gestation*[Title/Abstract])((((((((((intermittent preventive treatment[Title/Abstract]) OR (IPT[Title/Abstract])) OR (Sulfadoxine-pyrimethamine[Title/Abstract])) OR (Dihydroartemisinin-piperaquine[Title/Abstract])) OR (Dihydroartemisinin*[Title/Abstract])) OR (piperaquine[Title/Abstract])) OR (antimalarials[MeSH Terms])) OR (drug combinations[MeSH Terms])) OR (sulfadoxine[MeSH Terms])) OR (pyrimethamine[MeSH Terms])) OR (IPTp[Title/Abstract])(((((malaria[MeSH Terms]) OR (plasmodium[MeSH Terms])) OR (malaria, plasmodium falciparum[MeSH Terms])) OR (malaria, plasmodium vivax[MeSH Terms])) OR (plasmodium ovale[MeSH Terms])) OR (plasmodium malariae[MeSH Terms])
1,083,945123,14683,637
(((((((pregnancy[MeSH Terms]) OR (pregnant woman[MeSH Terms])) OR (pregnant women[MeSH Terms])) OR (pregnant[Title/Abstract])) OR (pregnanc*[Title/Abstract])) OR (gestation*[Title/Abstract])) AND (((((((((((intermittent preventive treatment[Title/Abstract]) OR (IPT[Title/Abstract])) OR (Sulfadoxine-pyrimethamine[Title/Abstract])) OR (Dihydroartemisinin-piperaquine[Title/Abstract])) OR (Dihydroartemisinin*[Title/Abstract])) OR (piperaquine[Title/Abstract])) OR (antimalarials[MeSH Terms])) OR (drug combinations[MeSH Terms])) OR (sulfadoxine[MeSH Terms])) OR (pyrimethamine[MeSH Terms])) OR (IPTp[Title/Abstract]))) AND ((((((malaria[MeSH Terms]) OR (plasmodium[MeSH Terms])) OR (malaria, plasmodium falciparum[MeSH Terms])) OR (malaria, plasmodium vivax[MeSH Terms])) OR (plasmodium ovale[MeSH Terms])) OR (plasmodium malariae[MeSH Terms]))
1,666
Filters applied: Full text, Randomized Controlled Trial, English 🡪 157 results

Lalu karena kami kita download semua artikelnya untuk kita filtering. Berikut cara save

  1. Klik save
  2. Pilihan selection: all results
  3. Pilih format: CSV

Karena tidak kuat baca seluruh artikel, bahkan hanya sekedar abstrak, alhasil kami hanya menextract data setelah tahun 2012 di mana artikel systematic review terkait prevention dari WHO ini ditetapkan.

Semoga bermanfaat..

No Mama No Malaria

Just a short article for my post-doc application.. , thanks to Mbak Icha, Mbak Dzerlin dan Mbak Puput

Malaria remains important public health and economic problem. Studies confirmed that malaria hinders economic growth (Gallup and Sachs, 2001; Sarma et al., 2019). Globally, malaria contributes to 1.8% of total DALYs and 1.28% and 0.6% of total DALYs in West Papua and Papua, Indonesia (IHME, 2019). Between 2009 and 2019, the Annual Parasite Incidence (API) in Indonesia decreased from 1.8 to 0.93 per 1000 population, with total spending of around 120 million USD annually (Kemenkes, 2020; IHME, 2020). High endemic incidence provinces are in Papua and Papua Barat, 64.03 and 7.38 per 1000 population (Kemenkes, 2020). Indonesia is in top-five ranked countries with 6.3 million pregnancies exposed to malaria annually (Dellicour et al., 2010)

Efforts have been done to control malaria morbidity and mortality, including curative and preventive. World Health Organizations (WHO) recommended intermittent preventive treatment in pregnancy (IPTp) based on the systematic review in Africa (Kayentao et al., 2013; World Health Organization, 2015). The study showed that IPTp with sulfadoxine-pyrimethamine (SP) reduced low-birth-weight infants, placental parasitemia and maternal parasitaemia (Kayentao et al., 2013). IPTp-SP as part of antenatal care, with dosing start in the second trimester and doses should be given at least 1 month apart, to get at least three doses are received (World Health Organization, 2015)

To have a better understanding of IPTp of malaria we did a rapid literature review from PubMed database. We combined the search concepts of ‘pregnancy’, ‘intermittent preventive treatment’ and ‘malaria’ from 2013. A total of 30 randomized control trials articles included. Studies were mostly conducted in Sub-Saharan Africa (93%) and only 7% in East Asia & Pacific. These articles covered a wide range of IPTp interventions. The issues were the increasing  IPTp-SP resistance and contra-indicated in pregnant women with HIV. Therefore, studies were looking for alternatives such as dihydroartemisinin-piperaquine (DP) or mefloquine (MQ). Studies showed IPTp-SP to be superior to IPTp-DP  (Madanitsa et al., 2016; Wallender et al., 2019; COSMIC Consortium, 2019; Roh et al., 2020). On the other hand, we found studies with opposite conclusions (Desai et al., 2015; Kakuru et al., 2016). Also, we found no significant differences between IPTp-SP and IPTp-DP (Kakuru et al., 2020). Mixed results also found in IPTp-MQ, where IPTp-MQ was superior (Briand et al., 2015), inferior (González, Mombo-Ngoma, et al., 2014; González, Desai, et al., 2014), or comparable (Green et al., 2016; Akinyotu et al., 2018; Huijben et al., 2020). The potential alternative to IPTp is the intermittent screening and treating of positive women with artemether-lumefantrine (IST-AL) (Pell et al., 2014; Tagbor et al., 2015); cotrimoxazole prophylactic treatment (CPT) for HIV-positive (Dow et al., 2013; Denoeud-Ndam et al., 2014; Klement et al., 2014; Natureeba et al., 2017); and azithromycin (Abdus-Salam et al., 2016; Akinyotu et al., 2019). In the Asia Pacific region, especially Indonesia, malaria prevention is still carried out by single screening and treatment (SST). The use of IPTp-DP has more promising results in controlling the incidence of malaria than SST (Ahmed et al., 2019).

Despite the high efficacy of IPTp, it is not necessarily to be effective in the real world. There are several challenges, including the unavailability of Rapid Diagnostic Test (RDT), health workers are poorly trained, and do not have the authority to prescribe medicines (Hoyt et al., 2018; Hill et al., 2018). Also, no behavioural changes to have outdoor activities at night time which increase the risk to be infected (Rahmawaty, 2016). Therefore, ANC as a group improves compliance with the IPTp-SP program compared to individual ANCs. The reasons are group interaction, knowledge sharing among peers, and addressing obstacles to care-seeking behaviour (Noguchi et al., 2020)

Further research is needed to identify the best choice of drugs, including cost-effectiveness analysis (Sicuri et al., 2010; Fernandes et al., 2020); and determining interventions that can improve and expand the coverage of IPTp programme to the most vulnerable population (Roman et al. 2019)

References 

Abdus-Salam, R.A., Bello, F.A., Fehintola, F.A. and Arowojolu, A.O. 2016. A comparative study of azithromycin and sulphadoxine-pyrimethamine as prophylaxis against malaria in pregnancy. The Nigerian postgraduate medical journal. 23(2), pp.57–61.

Ahmed, R., Poespoprodjo, J.R., Syafruddin, D., Khairallah, C., Pace, C., Lukito, T., Maratina, S.S., Asih, P.B.S., Santana-Morales, M.A., Adams, E.R., Unwin, V.T., Williams, C.T., Chen, T., Smedley, J., Wang, D., Faragher, B., Price, R.N. and Ter Kuile, F.O. 2019. Efficacy and safety of intermittent preventive treatment and intermittent screening and treatment versus single screening and treatment with dihydroartemisinin-piperaquine for the control of malaria in pregnancy in Indonesia: a cluster-randomised, open-label, superiority trial. The Lancet infectious diseases. 19(9), pp.973–987.

Akinyotu, O., Bello, F., Abdus-Salam, R. and Arowojolu, A. 2019. A randomized controlled trial of azithromycin and sulphadoxine-pyrimethamine as prophylaxis against malaria in pregnancy among human immunodeficiency virus-positive women. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 113(8), pp.463–470.

Akinyotu, O., Bello, F., Abdus-Salam, R. and Arowojolu, A. 2018. Comparative study of mefloquine and sulphadoxine-pyrimethamine for malaria prevention among pregnant women with HIV in southwest Nigeria. International journal of gynaecology and obstetrics: the official organ of the International Federation of Gynaecology and Obstetrics. 142(2), pp.194–200.

Briand, V., Escolano, S., Journot, V., Massougbodji, A., Cot, M. and Tubert-Bitter, P. 2015. Mefloquine Versus Sulfadoxine-Pyrimethamine for Intermittent Preventive Treatment in Pregnancy: A Joint Analysis on Efficacy and Tolerability. The American journal of tropical medicine and hygiene. 93(2), pp.300–304.

COSMIC Consortium 2019. Community-based Malaria Screening and Treatment for Pregnant Women Receiving Standard Intermittent Preventive Treatment With Sulfadoxine-Pyrimethamine: A Multicenter (The Gambia, Burkina Faso, and Benin) Cluster-randomized Controlled Trial. Clinical infectious diseases: an official publication of the Infectious Diseases Society of America. 68(4), pp.586–596.

Dellicour, S., Tatem, A.J., Guerra, C.A., Snow, R.W. and ter Kuile, F.O. 2010. Quantifying the number of pregnancies at risk of malaria in 2007: a demographic study. PLoS medicine. 7(1), p.e1000221.

Denoeud-Ndam, L., Zannou, D.-M., Fourcade, C., Taron-Brocard, C., Porcher, R., Atadokpede, F., Komongui, D.G., Dossou-Gbete, L., Afangnihoun, A., Ndam, N.T., Girard, P.-M. and Cot, M. 2014. Cotrimoxazole prophylaxis versus mefloquine intermittent preventive treatment to prevent malaria in HIV-infected pregnant women: two randomized controlled trials. Journal of acquired immune deficiency syndromes. 65(2), pp.198–206.

Desai, M., Gutman, J., L’lanziva, A., Otieno, K., Juma, E., Kariuki, S., Ouma, P., Were, V., Laserson, K., Katana, A., Williamson, J. and ter Kuile, F.O. 2015. Intermittent screening and treatment or intermittent preventive treatment with dihydroartemisinin–piperaquine versus intermittent preventive treatment with sulfadoxine–pyrimethamine for the control of malaria during pregnancy in western Kenya: an open-label, three-group, randomised controlled superiority trial. The Lancet. 386(10012), pp.2507–2519.

Dow, A., Kayira, D., Hudgens, M.G., Van Rie, A., King, C.C., Ellington, S., Chome, N., Kourtis, A., Turner, A.N., Kacheche, Z., Jamieson, D.J., Chasela, C. and van der Horst, C. 2013. The effect of cotrimoxazole prophylactic treatment on malaria, birth outcomes, and postpartum CD4 count in HIV-infected women. Infectious diseases in obstetrics and gynecology. 2013, p.340702.

Esu, E., Berens-Riha, N., Pritsch, M., Nwachuku, N., Loescher, T. and Meremikwu, M. 2018. Intermittent screening and treatment with artemether-lumefantrine versus intermittent preventive treatment with sulfadoxine-pyrimethamine for malaria in pregnancy: a facility-based, open-label, non-inferiority trial in Nigeria. Malaria journal. 17(1), p.251.

Fernandes, S., Were, V., Gutman, J., Dorsey, G., Kakuru, A., Desai, M., Kariuki, S., Kamya, M.R., ter Kuile, F.O. and Hanson, K. 2020. Cost-effectiveness of intermittent preventive treatment with dihydroartemisinin–piperaquine for malaria during pregnancy: an analysis using efficacy results from Uganda and Kenya, and pooled data. The Lancet Global Health. 8(12), pp.e1512–e1523.

Gallup, J.L. and Sachs, J.D. 2001. The economic burden of malaria. The American journal of tropical medicine and hygiene. 64(1-2 Suppl), pp.85–96.

González, R., Desai, M., Macete, E., Ouma, P., Kakolwa, M.A., Abdulla, S., Aponte, J.J., Bulo, H., Kabanywanyi, A.M., Katana, A., Maculuve, S., Mayor, A., Nhacolo, A., Otieno, K., Pahlavan, G., Rupérez, M., Sevene, E., Slutsker, L., Vala, A., Williamsom, J. and Menéndez, C. 2014. Intermittent preventive treatment of malaria in pregnancy with mefloquine in HIV-infected women receiving cotrimoxazole prophylaxis: a multicenter randomized placebo-controlled trial. PLoS medicine. 11(9), p.e1001735.

González, R., Mombo-Ngoma, G., Ouédraogo, S., Kakolwa, M.A., Abdulla, S., Accrombessi, M., Aponte, J.J., Akerey-Diop, D., Basra, A., Briand, V., Capan, M., Cot, M., Kabanywanyi, A.M., Kleine, C., Kremsner, P.G., Macete, E., Mackanga, J.-R., Massougbodgi, A., Mayor, A., Nhacolo, A., Pahlavan, G., Ramharter, M., Rupérez, M., Sevene, E., Vala, A., Zoleko-Manego, R. and Menéndez, C. 2014. Intermittent preventive treatment of malaria in pregnancy with mefloquine in HIV-negative women: a multicentre randomized controlled trial. PLoS medicine. 11(9), p.e1001733.

Green, M., Otieno, K., Katana, A., Slutsker, L., Kariuki, S., Ouma, P., González, R., Menendez, C., ter Kuile, F. and Desai, M. 2016. Pharmacokinetics of mefloquine and its effect on sulfamethoxazole and trimethoprim steady-state blood levels in intermittent preventive treatment (IPTp) of pregnant HIV-infected women in Kenya. Malaria journal. 15, p.7.

Hill, J., Landuwulang, C.U.R., Ansariadi, Hoyt, J., Burdam, F.H., Bonsapia, I., Syafruddin, D., Poespoprodjo, J.R., Ter Kuile, F.O., Ahmed, R. and Webster, J. 2018. Evaluation of the national policy of single screening and treatment for the prevention of malaria in pregnancy in two districts in Eastern Indonesia: health provider perceptions. Malaria journal. 17(1), p.309.

Hoyt, J., Landuwulang, C.U.R., Ansariadi, Ahmed, R., Burdam, F.H., Bonsapia, I., Poespoprodjo, J.R., Syafruddin, D., ter Kuile, F.O., Webster, J. and Hill, J. 2018. Intermittent screening and treatment or intermittent preventive treatment compared to current policy of single screening and treatment for the prevention of malaria in pregnancy in Eastern Indonesia: acceptability among health providers and pregnant women. Malaria Journal. 17(1).

Huijben, S., Macete, E., Mombo-Ngoma, G., Ramharter, M., Kariuki, S., Desai, M., Shi, Y.P., Mwangoka, G., Massougbodji, A., Cot, M., Ndam, N.T., Uberegui, E., Gupta, H., Cisteró, P., Aponte, J.J., González, R., Menéndez, C. and Mayor, A. 2020. Counter-Selection of Antimalarial Resistance Polymorphisms by Intermittent Preventive Treatment in Pregnancy. The Journal of infectious diseases. 221(2), pp.293–303.

IHME 2020. Financing Global Health. IHME Measuring what matters. [Online]. [Accessed 10 February 2021]. Available from: https://vizhub.healthdata.org/fgh/.

IHME 2019. GBD Compare. IHME Measuring what matters. [Online]. [Accessed 2 February 2021]. Available from: https://vizhub.healthdata.org/gbd-compare/.

Kakuru, A., Jagannathan, P., Kajubi, R., Ochieng, T., Ochokoru, H., Nakalembe, M., Clark, T.D., Ruel, T., Staedke, S.G., Chandramohan, D., Havlir, D.V., Kamya, M.R. and Dorsey, G. 2020. Impact of intermittent preventive treatment of malaria in pregnancy with dihydroartemisinin-piperaquine versus sulfadoxine-pyrimethamine on the incidence of malaria in infancy: a randomized controlled trial. BMC medicine. 18(1), p.207.

Kakuru, A., Jagannathan, P., Muhindo, M.K., Natureeba, P., Awori, P., Nakalembe, M., Opira, B., Olwoch, P., Ategeka, J., Nayebare, P., Clark, T.D., Feeney, M.E., Charlebois, E.D., Rizzuto, G., Muehlenbachs, A., Havlir, D.V., Kamya, M.R. and Dorsey, G. 2016. Dihydroartemisinin-Piperaquine for the Prevention of Malaria in Pregnancy. The New England journal of medicine. 374(10), pp.928–939.

Kayentao, K., Garner, P., van Eijk, A.M., Naidoo, I., Roper, C., Mulokozi, A., MacArthur, J.R., Luntamo, M., Ashorn, P., Doumbo, O.K. and ter Kuile, F.O. 2013. Intermittent preventive therapy for malaria during pregnancy using 2 vs 3 or more doses of sulfadoxine-pyrimethamine and risk of low birth weight in Africa: systematic review and meta-analysis. JAMA: the journal of the American Medical Association. 309(6), pp.594–604.

Kemenkes 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Klement, E., Pitché, P., Kendjo, E., Singo, A., D’Almeida, S., Akouete, F., Akpaloo, Y., Tossa, K., Prince-Agbodjan, S., Patassi, A. and Caumes, E. 2014. Effectiveness of co-trimoxazole to prevent Plasmodium falciparum malaria in HIV-positive pregnant women in sub-Saharan Africa: an open-label, randomized controlled trial. Clinical infectious diseases: an official publication of the Infectious Diseases Society of America. 58(5), pp.651–659.

Madanitsa, M., Kalilani, L., Mwapasa, V., van Eijk, A.M., Khairallah, C., Ali, D., Pace, C., Smedley, J., Thwai, K.-L., Levitt, B., Wang, D., Kang’ombe, A., Faragher, B., Taylor, S.M., Meshnick, S. and Ter Kuile, F.O. 2016. Scheduled Intermittent Screening with Rapid Diagnostic Tests and Treatment with Dihydroartemisinin-Piperaquine versus Intermittent Preventive Therapy with Sulfadoxine-Pyrimethamine for Malaria in Pregnancy in Malawi: An Open-Label Randomized Controlled Trial. PLoS medicine. 13(9), p.e1002124.

Natureeba, P., Kakuru, A., Muhindo, M., Ochieng, T., Ategeka, J., Koss, C.A., Plenty, A., Charlebois, E.D., Clark, T.D., Nzarubara, B., Nakalembe, M., Cohan, D., Rizzuto, G., Muehlenbachs, A., Ruel, T., Jagannathan, P., Havlir, D.V., Kamya, M.R. and Dorsey, G. 2017. Intermittent Preventive Treatment With Dihydroartemisinin-Piperaquine for the Prevention of Malaria Among HIV-Infected Pregnant Women. The Journal of infectious diseases. 216(1), pp.29–35.

Noguchi, L., Grenier, L., Kabue, M., Ugwa, E., Oyetunji, J., Suhowatsky, S., Onguti, B., Orji, B., Whiting-Collins, L. and Adetiloye, O. 2020. Effect of group versus individual antenatal care on uptake of intermittent prophylactic treatment of malaria in pregnancy and related malaria outcomes in Nigeria and Kenya: analysis of data from a pragmatic cluster randomized trial. Malaria journal. 19(1), p.51.

Pell, C., Meñaca, A., Chatio, S., Hodgson, A., Tagbor, H. and Pool, R. 2014. The acceptability of intermittent screening and treatment versus intermittent preventive treatment during pregnancy: results from a qualitative study in Northern Ghana. Malaria journal. 13, p.432.

Rahmawaty 2016. Determinan Kejadian Malaria pada Ibu Hamil di Papua Barat. Jurnal MKMI. 10(3), pp.166–173.

Roh, M.E., Kuile, F.O.T., Rerolle, F., Glymour, M.M., Shiboski, S., Gosling, R., Gutman, J., Kakuru, A., Desai, M., Kajubi, R., L’Ianziva, A., Kamya, M.R., Dorsey, G. and Chico, R.M. 2020. Overall, anti-malarial, and non-malarial effect of intermittent preventive treatment during pregnancy with sulfadoxine-pyrimethamine on birthweight: a mediation analysis. The Lancet. Global health. 8(7), pp.e942–e953.

Sarma, N., Patouillard, E., Cibulskis, R.E. and Arcand, J.-L. 2019. The Economic Burden of Malaria: Revisiting the Evidence. The American journal of tropical medicine and hygiene. 101(6), pp.1405–1415.

Sicuri, E., Bardají, A., Nhampossa, T., Maixenchs, M., Nhacolo, A., Nhalungo, D., Alonso, P.L. and Menéndez, C. 2010. Cost-effectiveness of intermittent preventive treatment of malaria in pregnancy in southern Mozambique. PloS one. 5(10), p.e13407.

Tagbor, H., Cairns, M., Bojang, K., Coulibaly, S.O., Kayentao, K., Williams, J., Abubakar, I., Akor, F., Mohammed, K., Bationo, R., Dabira, E., Soulama, A., Djimdé, M., Guirou, E., Awine, T., Quaye, S., Njie, F., Ordi, J., Doumbo, O., Hodgson, A., Oduro, A., Meshnick, S., Taylor, S., Magnussen, P., ter Kuile, F., Woukeu, A., Milligan, P., Chandramohan, D. and Greenwood, B. 2015. A Non-Inferiority, Individually Randomized Trial of Intermittent Screening and Treatment versus Intermittent Preventive Treatment in the Control of Malaria in Pregnancy. PloS one. 10(8), p.e0132247.

Wallender, E., Zhang, N., Conrad, M., Kakuru, A., Muhindo, M., Tumwebaze, P., Kajubi, R., Mota, D., Legac, J., Jagannathan, P., Havlir, D., Kamya, M., Dorsey, G., Aweeka, F., Rosenthal, P.J. and Savic, R.M. 2019. Modeling Prevention of Malaria and Selection of Drug Resistance with Different Dosing Schedules of Dihydroartemisinin-Piperaquine Preventive Therapy during Pregnancy in Uganda. Antimicrobial agents and chemotherapy. 63(2).

World Health Organization 2015. Guidelines for the Treatment of Malaria. Third Edition. World Health Organization.

Apakah filantropisme bisa mendorong peningkatan health expenditure?

Berdiskusi dengan mahasiswa S3, terkait bagaimana intepretasi situasi ekonomi dan kesehatan kita. Pertanyaannya mendasar dan penting berdasarkan dua slide dari Prof Laksono yang saya juga berusaha memahaminya.

  1. GDP untuk kesehatan dalam hal ini. Apakah yang dimaksud adalah health expenditure? Atau alokasi anggaran pemerintah Indonesia untuk kesehatan?
  2. Lalu di garis yang berwarna biru sering diartikan: pendapatan masyarakat yang senantiasa bertambah. Jadi, apakah GDP nasional ini bisa diartikan sebagai pemasukan perkapita?
  3. Pak Laksono membandingkan GDP Kesehatan di Indonesia dengan Thailand. Didapatkan selisih 1,6%, ekuivalen dengan 200 T. Dari mana mendapatkannya?
  4. Apakah artinya di sini meningkatkan Health Expenditure berarti seolah menaikkan konsumsi masyarakat dalam sektor kesehatan? Atau mungkin dengan mekanisme dengan mendorong pemerintah agar mau mengalokasikan sebagian dari Rp 15 Quadrillion itu lebih banyak untuk kesehatan, dari tadinya 3% (Rp 450 T) menjadi 4% (Rp 600 T)?

Dari pertanyaan tersebut saya berusaha menjawab sebagai berikut:

  1. Saya biasanya pakai data bersumber dari World bank terkait GDP berikut: GDP (current LCU) – Indonesia | Data (worldbank.org). Keilhatannya grafiknya mirip. GDP (Gross domestic product ) menurut sepemahaman saya adalah seluruh nilai barang dan jasa  yang diproduksi oleh negara dalam periode tertentu (dalam hal ini per tahun). Jadi bisanya dihitung dengan cara seluruh konsumsi masayarakat, pemerintah, investasi dan exports dikurangi import. Jadi intinya menilai bagaimana perkembangan ekonomi sebuah negara.
  2. Tapi tidak bisa diartikan bahwa ada peningkatan pendapatan masayarakat per kapita. Kalau pertumbuhan penduduknya lebih cepat dibandingkan dengan GDP , berarti kan per kapita lebih rendah. Namun sekali lagi, karena ini pakai local currency seringkali terlihat naik tajam, padahal karena inflasi kita juga tinggi. Jadi kenaikan pendapatan belum berarti sejahtera. hehe.  Sehingga lebih mudah untuk komparasi antar negara melihat GDP per kapita dengan USD untuk melihat bagaimana konsumsi masyarakat per kepala. Sehingga jika semakin tinggi, berarti semakin sejahtera. 
  3. Nah kemudian, ekonomi kesehatan biasanya mengukur bagaimana pembiayaan kesehatan berdasarkan pengeluaran kesehatan per GDP ini. Current health expenditure (% of GDP) – Indonesia | Data (worldbank.org) maka ditemukan lah sekitar cuma 3%. Total pengeluaran kesehatan juga termasuk seluruh pengeluaran kesehatan baik dari sisi publik maupun swasta, termasuk rumah tangga.
    Untuk perbandingan antar negara, bisa kembali melihat website Current health expenditure (% of GDP) – Indonesia, Thailand | Data (worldbank.org) bisa dilihat bagiamana fluktuasi memang sekitar selisih 1% lebih tinggi Thailand (Beda angkanya dengan milik Prof Laksono). Untuk konversi 1% tersebut, menurut saya mungkin bagaimana jika Indonesia juga meningkatkan helth expenditure 1% of GDP di Indonesia yang awalnya cuma 3% menjadi 4%. nah 1% ini senilai dengan 158 Triliun Rupiah. Karena GDP kita sekitar 15 Quadrillion. jadi kalau menurut beliau sekitar 1.6% , yah memang sekitar 200T. 
  4. Total health expenditure terdiri dari berbagai sumber baik pemerintah, swasta termasuk rumah tangga dan donor. Bisa dilihat grafiknya di Financing Global Health | IHME Viz Hub (healthdata.org) dan biasanya untuk menaikkan total health expenditure ini, kita tidak bisa bergantung pada konsumsi rumah tangga, karena tentu rumah tangga punya keterbatasan dan visi nya memang kita minimalisir out of pocket (mengurangi catastrophic cost). Belajar dari negara maju, bisa terlihat, bahwa pengeluaran kesehatan tetap didorong adalah dari komitmen pemerintah, atau kalau di negara kurang maju bergantung pada donor (namun biasanya tidak sustainable). Donor untuk Indonesia bisa terlihat masih sangat kecil kalau dilihat proporsinya. Nah kalau pemerintah mau realokasi ke kesehatan, tinggal kita harus tau persis dari mana sumbernya, dan untuk apa? sebagai contoh, apakah subsidi bahan bakar, insentif pajak otomotif selama ini memang lebih prioritas dibandingkan Kesehatan? Meamng cukup menantang, karena saya pernah mendengar dari kemenkeu, kalau saat ini pun kemenkes tidak bisa menyerap anggaran dengan baik dan outcome yang belum sesuai harapan.  Jadi pertanyaan sederhananya, kenapa harus dinaikkan anggarannya? haha.. tapi initnya alokasi kesehatan kita masih kecil dibandingkan negara lain, dan perlu dicari sumber lain untuk bisa memberikan pelayanan yang berkualitas dan masyarakat yang lebih sehat. Apakah menurut anda, filantropisme kita bisa mendorong peningkatan pengeluaran kesehatan?

Virus yang merubah budaya

Coba bandingkan TB dan Coroana (Sumber: https://informationisbeautiful.net/visualizations/covid-19-coronavirus-infographic-datapack/ )

Entah apa yang menyebabkan virus COVID-19 #Coronavirus bisa begitu trending, apakah karena baru dan keren, atau karena memang semematikan itu (di berita)?. Tapi memang seperti jadi bagus karena seperti film film zombie favorit. Mungkin suatu saat ada daerah yang harus diisolasi dan dimusnahkan karena virus ini.

Banyak perubahan yang terjadi saya lihat sekilas. Semua orang pakai masker jadi tren busana baru. Tidak bersalaman, jadi tren budaya baru dalam sosial. Tidak berkumpul, menjadikan proses belajar mengajar baru di dunia pendidikan (tidak perlu ada gedung sekolah lagi). Tidak perlu wisata lagi apalagi karena ketemu banyak orang, kelihatannya budaya wisata dengan google earth dan VR nya akan menjadi tren juga. Tidak perlu ada gedung-gedung kantor menjulang tinggi untuk orang berkumpul. Jakarta mungkin tidak perlu bersesak sesakan lagi di jalan raya karena macet membuat orang menjadi berkumpul, ditambah polusi lengkap sudah.

Menjadi orang yang terpapar terkait kegiatan #Tuberculosis melihatnya menjadi miris. Saya acungi jempol dengan media yang bisa membuat masyarakat menjadi begitu aware bahkan bisa bertindak cepat atas suatu penyakit baru. #TB #Tuberkulosis yang sudah bertahun-tahun umur nya dan mematikan lebih banyak orang, bahkan saat ini sudah begitu banyak TB dengan resisten obat tidak banyak yang peduli, bahkan tidak mau diobati.

Bisa dilihat di grafik yang paling banyak mati per hari di seluruh dunia, dibandingkan dengan bagaima media menginformasikan jauh kalah. Namiun, masih berusaha berpikir positif, dengan adanya virus ini, tentunya skrining lebih kuat. Termasuk TB yang sebagian besar penyakit paru. Jika pemerintah berusaha mendeteksi secara paralel untuk diagnosis TB dan bisa semaniac ini mencari kasus TB di seluruh Indonesia dan dunia, dan mengisolasinya seperti Corona yang harus dikurung dalam 6 bulan atau bahkan 2 tahun untuk memastikan sembuh (meskipun tidak manusiawi). Saya pikir bisa tercapai 2030 bebas TB.

Semoga dunia semakin sehat saja doa ku.. karena rencana bikin seminar jadi cemas karena bisa bisa harus diundur atau batal.

Communication 2020: Bagaimana cara komunikasi dengan jurnalis? press release

Anna Coretchi, Jurnalis, CTC TV presenter, Corsum. Paula Nersesian, PhD, MHR, John Hopkins University, School of Nursing, USA.

Dimulai dengan perkenalan masing-masing, dengan memberikan informasi nama, asal negara, background, dan pengalaman di bidang media. Lalu Anna menjelaskan terkait apa itu komunikasi, dan bagaimaan cara menghubungi jurnalis agar bisa diliput. Beberapa tips untuk menghubungi jurnalis antara lain:

  1. 91% jurnalis cenderung menerima berita dalam bentuk press release melalui e-mail
  2. 63% jurnalis merasa bahwa awal minggu merupakan waktu yang tepat untuk media
  3. Selasa merupakan hari terbaik untuk release
  4. 61% dari media ingin mendapatkan notifikasi di pagi hari

Okay, lalu bagaimana menulis press release yang terstruktur?

  1. Compile. Kita harus bisa membuat seluruh cerita dalam satu baris. Kita harus emnarik pembaca dengan infromasi yang paling bernailai. Jawab siapa, mengapa, apa, dimana, kapan, dan bagaimana.
  2. Content. Detail dan kredibel. Jelaskan secara signifikan ceritanya. Tambahkan latar belakang informasi, quotes sebagai sentuhan manusia dan tambahkan terkait kehidupan di cerita
  3. CTA. Buat pembaca untuk melakukan aksi untuk mengetahui infromasi lebih lanjut dan siapa yang harus dihubungi untuk diwawancara.

Agar meteri dapat dipublikasi, ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan agar mendapatkan atensi:

  1. 66% diisi dengan fakta
  2. 62% menggunakan cerita yang menarik
  3. 40% judul yang menarik
  4. 23% jelas dan quote informasi
  5. 17% menggunakan multimedia, links dan sumber informasi (sebagai tambahan).

Yang jelas agar suara kita bisa didengar oleh media, kita nggak boleh menyerah. Harus latihan terus menulis dan follow-up setiap hari karena jurnalis banyak mendapatkan request per hari bisa antara 25-60 email untuk dibaca.