ISIUM 2020: Workshop Penulisan Abstrak

Hans Hogerzeil berbagi pengalaman bagaimana beliau menulis abstrak. Pengalaman beliau sebagai dosen di University of Groningen, Belanda meminta mahasiswa tingkat 1 dan 2 untuk menulis abstrak utnuk simposium. Beliau membuat rating dalam menulis, dengan total nilai 10 yakni:

  1. Judul: 0 (tidak ada judul); 1 (satu kata, contoh negara); 2 (judul lengkap); 3 (judul yang menarik, provokatif).
  2. Metode: 0 (tidak ada deskripsi); 1-2 (teridentifikasi, deskripsi yang jelas)
  3. Kesimpulan: 0 (tidak ada deskripsi); 1-2 (teridentifikasi/ deskrispi yang jelas)
  4. Kalimat yang menarik dan provokatif: 1
  5. flow, bahasa yang bagus, dan tidak ada error dalam menulis: 0-1-2

Beliau juga memberikan pelatihan mengurangi kata abstrak dari 210 menjadi 150, termasuk membuat judul. Ada beberapa hal yang dipelajari adalah , jangan lakukan repetisi. keterangan yang terlalu panjang tidak perlu. Cari kata yang provokatif untuk judul.

Sebagai kesimpulan, komponen abstrak yang bagus adalah

  1. Judul: provokatif dan menarik
  2. Latar belakang: pertanyaan penelitian yang sesuai dan kenapa
  3. Metode: teridentifikasi atau digambarkan secara jelas
  4. Hasil: rangkuman dari temauan, terutama sajikan satu angka
  5. Kesimpulan: teridentifkasi atau digambarkan secara jelas. memiliki implikasi praktis atas hasil
  6. Secara umum: memiliki struktur yang kuat; setidaknya membuat satu kalimat yang provokatif; mengalir, bahasa yang bagus dan tidak ada error dalam menulis.

Beliau juga share terkait bagaimana tahapan menulis. Karena menulis memiliki pembaca yang berbeda. Menulis dimulai dari annex, tabel-tabel hasil detail. kemudian artikel itu sendiri sebagai body, kemudian executive summary, dan yang terakhir abstrak. Hal ini karena atasan, atau menteri mungkin hanya akan banyak abstrak dan executive summary. Sedangkan tingkat manajer akan membaca isi, sedangkan staff teknis akan perlu membaca annex.

Begitupula dengan cara menulis, menulis dari hasil, kemudian diskusi, metodologi bisa diantaranya, dan terakhir adalah latar belakang.

Di dalam paragraf, pastikan kalimat pertama menjelaskan ide utama dari paragraf. Kemudian kalimat terakhir merupakan kesimpulan dari paragarf, dan di tengahnya adalah argumen dari paragraf. Paling penting adalah tiga kata pada kalimat awal paragraf sudah bisa memberikan informasi kepada pembaca. Sebagai contoh: “Kesimpulan dari stud ini adalah”, “Dua argumen utama dari …”.

Terakhir, jangan terlalu pede dengan bahasa Inggris anda, karena kita bukan orang Inggris. Memberikannya pada profesional native proof reader merupakan hal penting sebelum submit.

Ketersediaan obat di Puskesmas dalam era JKN

Ali Kusnadi Satibi Presentasi di ISIUM 2020

Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama memiliki peran penting dalam proses layanan kesehatan. Terdapat empat tahapan dalam manajemen obat: seleksi, pembelian, distribusi dan penggunaan. Dalam manajemen obat ini terdapat beberapa faktor, sumber daya manusia, fasilitas, biaya, alat kesehatan dan sistem informasi mempengaruhi ketersediaan obat. Ketersediaaan obat di tahun 2012 dan 2013 sudah lebih dari 92%. Namun belum ada penelitian terakait bagaimana ketersediaan obat di era JKN (setelah 2014).

Dalam penelitian ini diambil data dari 12 Puskesmas dari kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul (masing-masing 4). Diambil data dari laporan obat tahun 2017, mutasi, pemusanahan dan expired, dan kartu stok. Ketersediaan obat dengan membandingkan stok obat dan rata-rata penggunaan obat. Kemudian dicari faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Hasil menunjukkan Sleman bahwa terdapat excess stock >18 bulan di tiga bulan (Sleman mendekati angka 18 bulan, dan dikatakan baik jika antara 12-18 bulan). Sehingga menunjukkan bahwa manajemen obat di Puskesmas kurang efisien. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah lokasi, yakni Sleman, dan jumlah Pustu (semakin banyak Pustu, semakin sulit untuk mengontrol ketersdiaan obat). Sedangkan faktor lain, akreditasi, jumlah apoteker, dan rawat inap tidak menjamin kualitas dan ketersediaan obat.

Komentar penulis: Banyak faktor yang tidak mempengaruhi, apakah karena masalah sample size? Kalau memang tidak ada masalah dengan statistik dan benar, ini menjadi PR besar untuk memperbaiki tenaga kesehatan farmasi dan proses akreditasi. Karena kedua hal ini diharapkan meningkatkan kualitas layanan secara langsung. Setelah diskusi dengan Pak Sabiti, ternyata permasalahan yang terjadi adalah, Dinas Kesehatan yang memiliki power lebih untuk dropping obat, padahal Puskesmas sudah BLUD yang juga bisa malakukan manajemen obat secara mandiri. Sedangkan kapitasi sebagian besar akhirnya digunakan untuk jasa pelayanan.

Miris juga segitu banyak obat akan kadaluarsa dan dibuang jika tidak bisa digunakan. Atau setidaknya berharap bisa didistribusikan kepada fasilitas kesehatan lain yang membutuhkan, terutama swasta atau daerah lain yang kekurangan pendanaan di era JKN ini.

Komentar peserta (Pak Budiono): mungkin akan lebih baik mengukur ketersediaan obat secara langsung, dibandingkan ekspektasi ketersdiaan obat.

Public Knowledge and Awareness toward Antibiotics Usage in Yogyakarta

Susi Ari Kristina Presentasi di ISIUM 2020

Regulasi di Indonesia melegalkan untuk resep dokter ke farmasi untuk antibiotik. Nmun dalam prakteknya, konsumen yang meminta antibiotik tanpa konsultasi. Studi dilakukan dengan cross-sectional dengan interview di September 2018 hingga November 2018, total 268 pasien, 8 klinik dan farmasi di provinsi Yogyaakrta. Hasil studi menunjukkan:

  1. 76% responden menggunakan antibiotik selama enam bulan terakhir.
  2. 58% memiliki pengethauan yang rendah terkait antibiotik.
  3. 23% dari mereka tidak tahu kalau anbiotik harus dengan resep.
  4. Lebih dari 75% anbitiotik diberikan kepada pasien dengan batuk pilek dan infeksi virus.
  5. Sumber informasi terkait anbitiotik dari internet 71%.
  6. 79% antibiotik diperoleh dari peresepan.
  7. 70% yang menyelesiakan pengobatan dengan anbiotik.
  8. 35% menggunakan antibiotik untuk infeksi bakteri.

Oleh karena itu, kampanye terkait penggunaan antibiotik dengan benar perlu dilakukan.

Tapi yang menjadi pertanyaan, seberapa jauh jawaban dari responden dapat dipercaya? karena dimungkinkan pasien mengetahui aturan tapi tidak sesuai dengan praktek yang dilakukan. Karena akan sulit mengingat obat 6 bulan terakhir. Penelitian juga terbatas pada populasi di konsumen toko obat atau fasilitas kesehatan, dan tidak bisa memverifikasi menunjukkan resep dan obatnya. Hal ini akan mempengaruhi interpretasi dari hasil (Komentar peserta).

Project PINTAR: Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance

Luh Putu Lila Wulandari presentasi di ISIUM 2020

Project ini didanai oleh DFAT. Dilatarbelakangi oleh tingginya antibiotik ressistance di Indonesia terutama TB. Akibat dari resistens ini menyebabkan kematian yang diprediksi meningkat di tahun 2050. Secara spesifik di Indonesia, permasalahan muncul akibat dari peresepan anbiotik oleh apotik dan toko obat swasta, karena permasalahan finansial dan kapasitas tenaga kesehatan. Terdapat beberapa tahap dalam project ini, antara lain kualitatif dan kuantitatif survey. Untuk tahap awal, telah dilakukan pengambilan data terkait alasan dispensing, antibiotik apa saja yang resisten, dan antibiotik apa saja yang dispense di farmasi. Intervensi dalam bentuk KIE untuk klien di toko obat, dan membantu proses monitoring di Dinas Kesehatan. Karena banyak toko obat tidak memiliki izin hal ini menjadi sulit untuk dimonitor dari Dinas Kesehatan. Terkait permasalahan dan dorongan finansial atas toko obat, mereka melihat bahwa ini lebih atas dorongan dari demand side, sehingga dibandingkan dengan intervensi finansial, lebih pada intervensi edukasi ke masyarakat.

ISIUM 2020: Bottom UP Approaches, People as the Focus

Hari ini fokus terkait bagaimana melibatkan masyarakat dalam proses advokasi. Beberapa hal catatan penting menurut saya adalah terkait proses sebuah project. Pelibatan stakeholder termasuk masyarakat membutuhkan beberapa tahap. Belajar dari Thailand, ada 5 tahap penting:

  1. Merubah mindset tenaga kesehatan untuk dispensing obat antibiotik (2007-2010). “No dispense”.
  2. Studi fisibilitas to meningkatkan hasil (2010-2011) “don’t leave”. Dalam hal ini memberikan bukti bahwa tanpa antibiotik masyarakat dapat sehat, termasuk kegiatan publikasinya.
  3. Pengembangan inovasi dan keberlanjutan untuk project (2011-2013) “follow-up”. Dalam hal ini meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk pengetahuan atas antibiotik. Terdapat 5 agen utama yakni pengambil kebijakan, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, media, dan kader di desa
  4. Pengembangan partnership eksternal (2014-2017). Yakni lebih melebarkan kegiatan publikasi, seperti membuat film, presentasi internasional.
  5. Pengembangan project di sekolah dan sharing ilmu to merubah mindset di setiap kelompok umur. Tapi tantangannya memang sulit mengukur di masyarakat. Kadang mereka sudah teredukasi, tapi perilakunya tidak berubah.

Selain belajar teknis terkait bagaimana proses scaling-up suatu project, ternyata ada hal yang menarik juga terkait bagaimana sebuah presentasi dilakukan di ISIUM. Ada sesi story-telling. Benar -benar si presenter menceritakan apa yang dialami dan bagaimana proses sebuah project dilakukan. Ada yang pakai presentasi, bahkan ada yang cuma pakai satu gambar dan bercerita saja. Tapi memang harus benar-benar menarik untuk presentasi agar bisa didengar.

ISIUM 2020: Initiative to Improve the Use of Medicines: Country Experiences

Libby Roughead, University of South Australia. Six building blocks to build vision:

  1. Pengembangan kebijakan: kebijakan nasional keshatan, obat, kebijakan lokal.
  2. Fasilitasi dan koordinasi
  3. Tujuan infromasi dan promosi etik
  4. Edukasi dan pelatihan
  5. Pelayanan dan intervensi
  6. Pengumpulan data secara rutin.

Perlu kerjasama antara pemerintah, tenaga kesehatan, industri, dan konsumen. Sehingga menciptakan Konsumen yang sehat.

Lalu dibentuk bangunannya, yakni strategi nasioal terkait kualitas penggunaan obat. Terdapat funding untuk melakukan tes atas ide untuk penggunaan obat; terdapat 235 projects. Prinsip nya adalah orientasi konsumen. Beberapa aktifitas yang didanai antara lain clinical audit.

Proses dikembangkan, yakni pembentukan badan representasi nasioanl (diwakili 28 stakeholder), mengembangkan guidelines.

Keberlanjutan. Dalam 15 tahun ke depan fokus untuk membangun tenaga kerja dan meningkatkan partisipasi dalam kualitas penggunaan aktifitas obat. Terdapat pengembangan baru, peningkatan data collection, sebagai contoh. Namun terdapat beberapa losses, di tahun 2006, representative nasional agar diberhentikan, sehingga tidak ada ownership lagi.

Renewal. di tahun 2019, pemerintah Australia megnumumkan penggunaan obat yang berkualitas dan aman, sebagai prioritas ke-10 nasional. direncanakan akan ada kebijakan terkait medicine.

Pembicara ke-2. Ubaidulla Datkhayev, Beliau menjelaskan mengenai negara Kazakhstan. Negara multi-ethnic, termasuk Rusia, Ukraina, dan multi-religion, yang didominasi oleh Islam (70%). Sudah terdapat beberapa regulasi terkait impelementasi rational use of medicine di Kazakhstan. Antara lain terkait national drug formulary, medicine for citizens, standard akreditasi, monitoring efek-samping, produk medis dan peralatan medis. ke depan akan dilakuakn regular monitoring terkait standar penggunaan obat, baik secara internal maupun external. Secara internal, penilaian oleh organisasi kesehatan meliputi: aktivitas komisi untuk organisasi, self-assessment. Sedangkan eksternal, meliputi pemeriksaan dokumen, observasi dan interview tenaga kerja. Tujuan dari analisis ini untuk interpretasi outcome dan follow-up keputusan kebijakan.

Penguatan juga dilakukan kepada farmasis terkait penggunan obat secara rasional melalui proses edukasi. Dimana penggunaan obat harus berdasarkan indikasi medis, bukan memuaskan kebutuhan individu pasien. Namun yang menjadi tantangan adalah memotiviasi farmasi untuk mengoptimalkan kualitas konsultasi.

Kazakhstan telah mengembangkan Kazakhstan National Medical Formulary (KNF), sebagai baigan dari strategi pengobatan, atas kerja antara Kementeiran dan World Bank. Visi dari KNF ini adalah mengoptimalkan penggunaan obat secara rasional dan mengedukasi untuk praktisi. KNF bersifat digital dan free sehingga mudah untuk diakses. Secara prinsip menggunakan klasfikasi WHO framework, Didesain, dan dikomplikasi oleh ahli internasional dengan kolaborasi klinisi lokal. Sehingga tidak hanya daftar obat, tapi juga terkait klinis dan manajemennya.

Pembicara ke-3 (Cuba; Dulce Calvo). Cuba sebagai low income countries, tapi memiliki political will untuk penggunaan obat secara rasional. Secara prinsip sistem kesehatan di Kuba: Universal, Free, Accesible, Holistic, Socialist, for region. Di tahun 1993, Kuba mengalami krisis, dan dimulainya strategi pharmacoepidemiology di tahun 1996 yang ada di masing-masing kota. Kemudian di tahun 2001 dimulai proses go industri (produksi nasional oleh BioCuba Farma), tapi intinya dimulai strategi yang baik terkait farmasi dari perencanaan, seleksi, produksi, hingga penggunaannya. Tapi tentunya masih ada obat yang diimport, sebagianb esar digunakan untuk onkologi (24%) dan hematologi (14%). Dikembangkan juga formularium nasional untuk profesional terkait daftar obat esensial, lalu buletin dan guildelines. Beberapa aktor yang memegang peranan penting adalah publik, seperti sekolah, orgnisasi; media; dan akademia.

Pembicara ke-4, (Thailand, Prasit Watanapa). Thailand telah melalui 40 (Sejak 1976) tahun perjalanan dalam perjuangan rasional drug use. Beberapa event penting adalah ketiak pilot project , RDU hospital dengan nama PLEASE strategi (P: PHarmacy & Therapeutics commitee; L: labeling and leaflet; E: Essential RDU tools; A: awarness; S: special drug; E: Ethic). Dimulai di Rumah sakit pendidikan, karena proses pendidikan disana. lalu 2016 , prmosi terkait kriteria ethical, 2017 diteapkan dalam proses standar akreditasi, di tahun 2018 mengembangkan resolusi sebagai negara RDU dan mengimplementasikan rekomendasi WHO 2002 termasuk pengembangan badan otonomi yang mengawasi. 2019, Community centred system. Dengan pelaksanaan ini, telah merubah penggunaan antibiotik dan turun tajam. Tentunya hal ini juga menurunkan biaya lebih dari 50% dalam 2 tahun.

Negara RDU adalah negara yang menginisiasi secara tailor-made untuk mengembangkan RDU secara nasional dengan mematuhi guidelines WHO, dari upstream (industri farmasi), mid stream (fasilitas), downstream (people). Tiga hal dalam elemen mekanisme ini: Self-consciosuness and idividual awareness; good administrations; act effective regulatory & monitoring system. RDU ini merupakan branding dari negara Thailand untuk terapi kepada orang asing, memastikan tidak ada obat yang berlebih dan charge yang berlebih, selain itu juga untuk mengatur sektor swasta. Tiga elemen ini saling berhubungan untuk keberlanjutan. RDU sebagai hak dasar, normal sosial, dan layanan yang berkualitas untuk rakyat Tahiland. Goal dari RDU ini adalah meningkatkan kualitas of life and sustainable system. Proses pengambilan kebijakan harus bersama solusi, dan dipastikan bahwa mereka paham bahwa masyarakat willing untuk melakukan, bukan need to do. Sehingga dimulai dari kesadaran di tingkat komunitas, dan indikator monitoring yang lengkap dari input hingga outcome.

Kunci sukses dari promosi pelaksanaan RDU adalah:

  1. Multidisciplinary national body
  2. National essential medicines list
  3. use of appropriate and enforced regulation
  4. Sufficient expenditure to ensure availability of medicines and staff
  5. Public education about medicines
  6. Establishment of drug and Rx communities in districts and hospitals
  7. Supervision, audit and feedback
  8. Use of clinical guidelines
  9. Use of independent information on medicine
  10. Avoidance of perverse financial incentives. Regulasi terkait pharmaceutical company tidak boleh mensponsori langsung ke dokter, tapi ke fasilitas kesehatan. Sehingga fasilitas kesehatan yang memilih dan memiliki power untuk RDU.
  11. Inclusion problem-based pharmacotherapy training in undergraduate curricula
  12. Continue medical education as a licensure

Diakui memang sulit ketika pelaksanaannya, namun “Difficult” is not a synonym of “Impossible”. Difficult is need more “Effort”

International Society to Improve the Use of Medicine (ISIUM) 2020: Hari 1, Sesi 1

Bangkok 26-28 Jan 2020

Belajar di lingkungan baru, farmasi. Suatu kehormatan untuk diundang berbicara di pertemuan ini, terkait peningkatan dalam penggunaan obat secara rasional. Judul tepatnya: People Improving the Use of Medicines: What We Know and Don’t Know.

Pembukaan oleh Marry Murray, Niyada Kiatying-Angsulee, dan Arturo Quizhpe. Sambutan terkait regulasi selama pertemuan, dan harapan bahwa kegiatan ini memiliki dampak perbaikan dalam penggunaan obat. Terutama obat antibiotik, yang dimulai diedukasi sejak dini dalam pendidikan.

Keynote oleh Mongol Na Songla, Mantan Menteri Kesehatan Thailand. Intinya adalah kebersihan, pencegahan penyakit, promosi kesehatan, keberlanjutan alam; Self reliance; The four noble truths: 1) Suffering or “Dukkha”; 2) the origin of suffering or “Samudaya”; 3) The cessation of suffering or “Nirodha”; 4) The path of cessation of suffering or “Magga”. Hidup kita merupakan milik alam, dan mikroorganisme, dan gen yang selalu bekerja keras meskipun kita tidur. Oleh karena itu, kita harus berhenti untuk membunuh mereka, mereka adalah teman kita.

Kathleen A Holloway. Rational use of drugs sudah digaungkan sejak 1985 dalam Nairobi WHO conference, resolusi WHA 39.27. Lalu kemudian dilanjutkan pada beberapa konferensi, antara lain 1986 international network of the rational use of drugs, ISIUM conference (1997, 2004, 2011) dan 2007 resolution: progress in the rational use of medicines. Penggunaan antibiotik di rumah sakit di Eropa, paling rendah adalah Netherland, sedangkan paling tinggi Malta. Sayangnya data ini tidak ada di LMICs. Lalu kemudian dilakukan pegnumpulan data oleh WHO, dan kepatuhan terhadap pengobatan lebih baik di public sector dibandingkan private sector. Sebagai contoh di Timor leste penggabungan obat dalam plastik obat, atau Indonesia menggunakan puyer. Kenapa tidak memberikan obat secara rasional? banyak alasan, antara lain, bagaimana saya bisa mengdiagnosis dengan baik dengan 1 menit waktu pemeriksaan, obat yang mau kadaluarsa sehingga didahulukan, pasien sudah diberikan dokter lain antibiotik, sehingga perlu antibiotik yang lebih tinggi. Ada bukti bahwa dengan policy dan regulasi yang kuat mempengaruhi penggunaan obat secara rasional. Yang perlu dilakukan ke depan adalah, pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan rational use medicine. Kebijakan tersbut di antara lain adalah: monitoring, edukasi, supply sistem dan kebijakan generik, implementasi dan update formularium, melarang farmasi / perscriber yang tidak kompeten, memberikan obat gratis di sektor publik. Secara global, perlu follow up atas resolusi WHA, pengembangan action plan berdasarkan analisis situasi, lobi di seluruh tingkat stakeholder, menggunakan metode baru untuk mempromosikan RUM, dan setidaknya 5% dari anggaran medicine untuk mempromosikan RUM. Mendorong kolaborasi dalam research dibanginkan kompetisi.

Keynote ke 3 oleh Mirfin Mpundu, former Directors of the Ecumenical Pharmaceutical Network. Maaf, tidak sempat mencatat lengkap. Tapi secara sekilas beliau menekankan pada kerjasama antara pemerintah dan komunitas termasuk donor dalam peningkatan rasional use of drugs.

Okay lanjut ke sesi berikutnya..

Apakah perubahan iuran memperbaiki JKN? Perpres 75/ 2019 tentang Jaminan Kesehatan

Pemerintah merubah regulasi perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan atas reaksi defisit yang melanda BPJS Kesehatan. Namun saya secara pribadi melihat ada yang kurang pas, diantaranya:

Ilustrasi struktur demografi dan perlindungan , banyak bolong dalam PBI yang terpaksa jadi PBPU.
  1. Kenaikan premi BPJS Kesehatan menurut saya akan menurunkan permintaan terhadap asuransi kesehatan. Yang bisa juga berarti menurunkan tingkat kepatuhan pembayaran yang saat ini hanya kurang dari 50%. Hal ini diperparah dengan melihat kondisi demografi penduduk kita yang masih banyak bolong bolong atas penduduk yang tidak tercover namun di sisi lain juga sebenarnya tidak ingin untuk membayar iuran.
  2. Kenaikan premi BPJS kesehatan berdasarkan perhitungan aktuaria berdasarkan wawancara Metro TV kepada Humas bahwa sebenarnya hitungan premi adalah dua kali lipat dari yang sudah ditetapkan. Jadi sebenarnya walaupun patuh, tidak akan menyelesaikan masalah defisit juga.
  3. Batasan premi untuk pekerja penerima upah sebesar 12 juta saya rasa tidak sesuai dengan prinsip gotong royong di mana orang kaya seharusnya mensubsidi orang miskin.
  4. Di sisi lain, malah dibuat batas paling rendah dengan nilai upah minimum. Orang orang yang gajinya fluktuatif , atau bahkan pasti lebih rendah harus menggunakan standar yang tidak mampu sebenarnya.
  5. Premi dari daerah (PBI APBD / APBN) yang menggunakan prinsip equality (sama untuk semua daerah) menurut saya tidak sesuai. Karena harusnya juga menggunakan prinsip equity sehingga terjadi gotong royong, dimana daerah yang lebih kaya dan menggunakan lebih banyak bisa berkontribusi lebih tinggi. Kalau dibiarkan seperti ini terus, tentu daerah daerah yang tidak menggunakan atau miskin akan cenderung menolak untuk integrasi dengan BPJS, karena merasa tidak ada manfaatnya untuk rakyatnya. Sehingga subsidi yang diberikan juga seharusnya tidak sama untuk semua daerah.

Akibat dari kejadian ini ada beberapa dampak jika dibiarkan:

  1. Tidak ada peningkatan yang signifikan untuk peserta mandiri. Atau bahkan bisa berpindah kepesrtaan untuk memilih menjadi anggota keluarga dari peserta penerima upah.
  2. Terjadi penurunan kepatuhan pembayaran atas peserta yang sudah membayar.
  3. Penurunan kelas dari 1 atau 2 ke kelas 3 karena tidak mampu untuk membayar. Toh juga bisa naik kelas ketika rawat inap, dengan tambahan yang mungkin lebih affordable.
  4. Masyarakat bisa protes dan mengajukan pembatalan perpres ini
  5. Dari permasalahan di atas semua tidak ada peningkatan pendapatan dari peserta mandiri dan defisit tidak teratasi

Usulan kebijakan yang menjadi mimpi saya:

  1. Tidak usah ada kelas mandiri, melainkan semua warga di luar pekerja dilindungi oleh negara dengan kelas standar.
  2. Buat kelas standar. Kalau memang kemampuan kita kelas standar adalah kelas 3 , ya.. buat standar yang bagus untuk kelas tersebut. Dengan seperti ini, warga yang mampu tapi informal secara selektif akan naik kelas dan tidak dapat ditanggung oleh BPJS kesehatan, silakan menggunakan asuransi swasta.
  3. Begitupula dengan warga yang membayar asuransi kesehatan sebagai pekerja, tidak ada perbedaan manfaat termasuk kelas sehingga tidak ada diskriminasi dalam layanan. Sekali lagi, kalau hendak naik kelas menggunakan asuransi swasta. Sehingga yang membayar seperti saat ini punya hak untuk naik kelas sebagai previlage dengan co-payment.
  4. COB yang menggunakan BPJS sebagai lini pertama, karena saat ini sepengatahuan penulis BPJS kesehatan tidak sebagai lini pertama, sehingga banyak orang merasa kecewa seperti bakar uang saja untuk BPJS.
  5. Tidak ada batasan atas pekerja upah , melainkan ada batasan nilai bawah. Sehingga warga yang memiliki gaji di bawah UMR, ditanggung oleh negara.

To be fair, Tidak dipungkiri dengan pilihan kebijakan tersebut ada beberapa kekurangan dan risiko

  1. Perubahan kultur kasta yang sudah mendarah daging di negara kita menjadi sulit untuk menjadi setara termasuk layanan kesehatan. Orang yang merasa berduit merasa harus mendapat layanan lebih dibandingkan orang miskin. Padahal kesehatan menurut saya harus setara sesuai kebutuhan baik dia kaya atau miskin, dilayani secara baik dan profesional. Termasuk kultur bahwa kalau kamar harus bersifat private, harus sendiri kalau bisa, padahal rumah sakit itu bukan hotel, sehingga kalau memang sudah baikan silakan pulang. Agar rumah sakit juga lebih efisien.
  2. Rumah sakit sudah investasi besar-besaran bangun ruang akomodasi menjadi kelas kelas, sehingga untuk merubah menjadi kelas standar harus bongkar pasang lagi dan pasti ada penolakan atau proses untuk merubah menjadi kelas standar.
  3. Ada kemungkinan kalau semua ditanggung oleh negara selain pekerja, maka para pemberi kerja cenderung nakal untuk tidak mendaftarkan pegawainya. Oleh karena itu, diperlukan insentif pajak misalnya bagi para pemberi kerja atau disinsentif dengan pembekuan izin operasional usaha ketika ditemukan ada nya kenakalan tersebut.
  4. Memang benar bahwa dengan kondisi seperti ini tidak dapat dijanjikan bahwa equity benar-benar akan terjadi kecuali ketika memang BPJS dianggap sebagai inferior goods, sehingga tidak digunakan seperti ketika jaman Askes, dan bisa memaksimalkan kegiatan untuk mengkompensasi masyarakat di daerah terpencil yang tidak bisa mengakses layanan kesehatan

Yang masih menjadi pertanyaan di benak saya, proses penulisan regulasi perpres seperti ini bagaimana ya prosesnya.. kesannya sangat eksklusif, dan ketika terjadi goncangan di masyarakat akhirnya bongkar pasang regulasi lagi. Saya juga kasihan melihat BPJS kesehatan yang hanya menjadi boneka dan tidak ada power menurut saya, sehingga lalu akhirnya ketika ada masalah mereka berdalih, kami hanya pelaksana.

Memungkinkan nggak ya ketika regulasi itu bisa diposting seperti layaknya artikel jurnal review open, sehingga seluruh rakyat bisa memiliki akses untuk mengkritisi tentunya dengan berbasis bukti. Cuma bisa berdoa dan berharap Indonesia lebih baik ke depan dengan JKN nya. Menaruh harapan besar kepada gebrakan menteri yang baru.

Program Kreativitas Mahasiswa

Oleh:  Prof Edy Meiyanto, M.Si., Apt.

Kemajuan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh sebuah inovasi. Inovasi bisa muncul karena kreativitas. Oleh karena itu kreativitas harus mulai diasah sejak mahasiswa. Kreativitas bisa berkembang harus didukung oleh lima hal: 1) pengetahuan akademik; 2) Keterampilan dalam berpikiran; 3) Keterampilan komunikasi; 4) Keterampilan manajemen; 5) Enterpreneurship.

Untuk program kreativitas dapat berhasil, dengan fondasi dasar lima hal tersebut, lalu dilakukan beberapa tahap: 1) olah gagasan; 2) menyusun proposal (karena sifatnya tertib dalam program ini); 3) pengajuan dana; 4) pelaksanaan; 5) diseminasi hasil. Luaran yang dihasilkan dapat berbagai jenis, seperti produk itu sendiri, pemikiran, artikel, network, tanggungjawab, enterpreneurship.

Program kreativitas mahasiswa diselenggarkaan oleh DIT-MHS; BELMAWA, RISTEK-DIKTI. Peserta dari program ini adalah seluruh mahasiswa Indonesia di lingkungan kementerian RISTEK-DIKTI (mahasiswa di luar RISTEK-DIKTI seperti di bawah kementerian agama), sehingga sudah lebih dari 80%. Sifatnya kompetisi terbuka tingkat nasional, tidak wajib, dan ditawarkan setiap tahun. Kompetisi tidak hanya di satu bidang, tapi antar bidang. Karena waktunya rutin setiap tahun, maka harus disiapkan dahulu sebelum pengumuman. Memang diakui terkadang pengumuman hanya seminggu, dan biasnaya di bulan November. Program ini memiliki misi mendorong kreativitas mahasiswa Indonesia dengan dampak sebagai indikator keunggulan mahasiswa/ lembaga. Sebagai bentuk penghargaan, rekognisi, IBK, dan akreditasi lembaga.

Terdapat berbagai jenis program kreativitas mahasiswa:

  1. Karsa (keinginan). PKM-KC: (karsa-cipta) Menciptkan protoype untuk inovasi dan atau efisiensi sistem dan produksi/ seni. Untuk kesehatan, seperti pengembangan teknologi untuk sekolah, rumah sakit, dan puskesmas lebih cocok di sini.
  2. Penelitian. PKM-PE: Penelitian Esakta. Masalah , muncul metodologi penelitian. PKM-PSH: Penelitian sosial humaniora: masalah, metodologi penelitian. Fakultas kedokteran bisa di keduanya.
  3. PKM-K (Kewirausahaan): Menciptkan peluang usaha berorientasi profit untuk dirinya, bukan orang lain.
  4. PKM-M (Masyarakat): Pemberdayaan/ pendampingan masyarakat untuk mengatasi masalah real yang dihadapi
  5. PKM-T (Teknologi): Teknologi, peningkatan kapasitas produksi MITRA usaha. Biasanya disyaratkan biasanya diutamakan untuk usaha kecil dan menengah untuk meningkatkan kapasitas produksi, dengan indikator sebagai contoh omset. Jadi dipastikan bahwa teknologi diterapkan untuk usaha yang bersifat profit.
  6. PKM-GFK (Gagasan, futuristik, dan konstruktif): Mengelola imajinasi, persepsi dan nalarnya, memikirkan tatakelola yang futuristik namun konstruktif.. Sebagai contoh pemikiran untuk 5-10 tahun ke depan yang masih sulit diterapkan dalam waktu dekat. Dengan produk dalam bentuk video yang diupload ke YouTube. Video memberikan informasi dan ajakan kepada masyarakat untuk mengatasi masalah yang ada. Contoh permasalahan SDG di Indonesia, dari 17 topik bisa dipilih salah satu; PKM AI: Hasil penelitian ilmiah yang siap dipublikasikan. Menyusun artikel ilmiah yang dimuat di jurnal ilmiah; PKM-GT (gagasan tertulis): Gagasan yang dipikirkan untuk mengatasi masalah besar dan strategis, yang sifatnya ke depan. Dengan produk dalam bentuk tertulis.

Kriteria dalam program kreativitas mahasiswa yang harus dipenuhi terdiri dari beberapa hal, berdasarkan jenis jenis PKM di atas:

  1. Inti kegiatan. Menghasilkan produk sesuai tujuan dari jenis program.
  2. Kriteria keilmuan. Sebagian besar dianjurkan dan diperlukan lintas bidang. Sehingga perbedaan prodi dalam anggota juga mempengaruhi kriteria penilaian. Sebagai contoh pengabdian masyrakat yang membutuhkan pendekatan dari berbagai ilmu.
  3. Strata. Lebih ditekankan pada S1
  4. Anggota. Terdiri dari 3 orang, kecuali program PKM-T, PKM-K dan PKM-M yang bisa antara 3-5 orang. Dalam penilaian, perbedaan angkatan juga bisa mempengaruhi karena kadang yang mengajukan mahasiswa tingkat akhir semua dan ketika monev semuanya sudah lulus dan tidak ada regenerasi.
  5. Alokasi dana. Pendanaan antara 5 sampai 12.5 juta. Pengajuan pendanaan di bawah 5 juta akan ditolak, sedangkan pengajuan pendaanan lebih dari 12. 5juta, diperlukan pernyataan sumber bahwa kelebihan dari sumber lain.
  6. Luaran. Sesuai dengan jenis PKM.

Yang perlu diperhatikan dalam program kreativitas mahsiswa:

  1. Kreativitas harus dipastikan dari mahasiswa, bukan dari dosen. Biasanya diketahui ketika interview. Program harus sistematik, logik dan fokus bidangnya.
  2. Kreativitas dilihat dari : topik, output, metode. Topik yang mengandung unsur kreatif itu apa? contoh, pada umumnya di dunia kesehatan melakukan hal: mengandung bahan alam, memberikan efek tertentu dan hubungan dari bahan dan efek. Kreativitas muncul dari jenis topik, apakah bahan tersebut tidak biasa, efeknya untuk hal yang paling penting, dan ternyata memiliki proses hubungan yang baru.
  3. Kreatif mengandung unsur keunikan atau jarang dipirkan oleh orang kebanyakan.
  4. Kreatif juga ada nilai keunggulan dalam hal nilai tambah atau kemanfaatannya
  5. Kreatif mengandung unsur innovatif. Memecahkan masalah dengan hal yang baru.
  6. Nilai kreatifitas output sebanding dengan dana dan waktu yang tersedia. Pendanaan harus bisa dipertanggungjawabkan. Karena seringkali programnya bagus, tapi dicurigai bahwa ini project payung dosen dan sekelas S3, padahal dana cuma 10 juta dan cuma 5 bulan. Publikasi di koran bukan menjadi hal utama, dan publikasi Q1 bahkan dicurigai, karena dalam 5 bulan tidak mungkin.

Strategi sukses dalam program kreativitas mahasiswan dan PIMNAS

Strategi umum proposal PKM untuk didanai: 1) proposal harus sesuai panduan. Meskipun akan ada panduan baru, namun bisa menggunakan panduan tahun sebelumnya; 2) pemilihan topik dan kreativitas PKM, termasuk dalam pemilihan judul; 3) Bimbingan dengan dosen.

Strategi umum menuju PIMNAS: 1) Pelaksanaan PKM yang baik – detail perancangan dan implementasi sesuai proposal, dokumentasi : logbook, lap kemajuan, lap akhir, artikel- ; 2) output: – kreativitas/ produk, dan publikasi artikel ilmiah/ paten. Apapun produknya, tidak hanya PKM-P.

Dalam diskusi ada pertanyaan terkait keterbatasan dana dalam kegiatan PKM. Institusi dapat memberikan bantuan dorongan dalam berbagai bentuk seperti sosialisasi, review internal, dan tambahan dana. Meskipun tambahan dana juga tidak bisa banyak seperti 1-3 juta saja, karena bisa menyebabkan hal yang tidak sesuai dengan harapan program itu sendiri atau kecemburuan antar universitas.

Strategi Advokasi Kebijakan

Oleh Dr. Gabriel Lele, SIP.,M.Si

Advokasi berarti berbicara atas nama orang lain. Advokasi diharapkan dapat mempengaruhi pengambil kebijakan. Kegiatan advokasi dapat berbagai macam bentuknya: lobi, edukasi publik, capacity building, membuat network, dan pengembangan kepemimpinan.

Dalam kebijakan publik, bisa dalam bentuk action atau inaction. Dalam perpsektif liberal (lugu), pemerintah duduk manis dan tergantung masyrakat meminta apa. Perspektif neomarxis, Pemerintah melihat masyarakat sesuatu yang dicurigai sehingga pemerintah bisa melakukan atau tidak melakukan tanpa melihat kebutuhan masyarakat. Kebijakan publik bisa bersifat material atau simbolik-ideologis. Contoh, BPJS ketika defisit, maka presiden mengatakan bahwa ini bukan berdagang dan kewajiban negara (ideologis), sedangkan material bisnis swasta saja. Kebijkaan publik normalnya seharusnya ada konflik kepentingan, sehingga agak aneh kalau ada kebijakan yang adem ayem, karena berarti tidak ada kepentingan di sana. Instrumen alokasi sumber daya dari sebuah kebijakan pasti ada batasnya, sehingga pasti dibutuhkan tarik menarik. Kalau orang ekonomi, inginnya dilakukan efisiensi dengan sumber daya yang ada, tapi kalau orang sospol, siap berkelahi untuk mendapatkan sumber daya. Hal ini menjadikan dalam kebijakan publik ada winner dan loser, meskipun pada ujungnya kebijakan publik harus membuat situasi lebih baik.

Tujuan advokasi adalah untuk mendidik, mempengaruhi dan memaksa. Dalam advokasi dilakukan dengan “critical mass” dalam membentuk koalisi. Oleh karena itu, biasanya advokasi dilakukan secara bergelombang, dari hal kecil, lalu bawa demo, sampai kerusuhan, sampai pemerintah mau mendengar. Ada beberapa hal dalam advokasi yang paling penting untuk ditentukan, yakni isu apa dan siapa audience nya? karena seringkali respon nya adalah “akan kita tampung dan sampaikan pendapatnya”, maka artinya tidak “tidak disampaikan”.

Dramatisasi masalah diperlukan. Karena data bersifat netral sebenarnya. Oleh karena itu perlu perspektif dan retorika, sehingga menjadi problematika. Dalam penyusunan dokumen, penting memastikan bahwa dalam paragraf satu di awal sudah menunjukkan hal ini. Dalam proses perencanaan advokasi, sebenarnya merupakan dari agenda sosial (besar), menjadi agenda institusional/ formal (spesifik). Sehingga perlu dibuat tahapan juga untuk memastikan pengambil kebijakan tidak memperhatikan agenda lain selain tujuan (melokalisasi isu).

Beberapa hal yang harus clear dalam advokasi: 1) Merencanakan advokasi; 2) menetapkan Isu; 3) analisis; 4) tujuan; 5) identifikasi target; 6) identifikasi teman dan koalisi (harus lebih banyak menciptakan teman daripada musuh); 7) Mendefinisikan pesan; 8) Memilih perangkat; 9) merencanakan monitoring dan evlauasi;

Ada 4 cara untuk menyelesiakan masalah: 1) selesaikan; kalau tidak bisa 2) ganti masalah; 3) lupakan; 4) Anda adalah masalahnya. Point terakhir penting karena memang perbedaan perspektif yang berbeda, atau standar yang berbeda. Oleh karena itu penting bahwa anda bisa mencari teman/ koalisi untuk mencapai tujuan.

Fisibilitas substantif, sejauh mana rekomendasi kita secara teoritis dapat dipertanggungjawabkan (hubungan kausalitas). Padahal rekomendasi kebijakan bergerak dalam konteks. Oleh karena itu bergerak menjadi fisibilitas administratif: apakah memiliki keterampilan, kapasitas administratif untuk mengeksekusi. Fisibilitas ekonomi dilakukan untuk membandingkan beban ekonomi dan manfaat. Fisibilitas sosial, dukungan dari masyarakat, tergantung dari adat istiadat, budaya (contoh: eKTP dianggap sebagai mata-mata). Fisibilitas politik, dukungan politik untuk kebijakan terkait. Fisibilitas hukum, birokrat selalu tanya “apakah aman jika dilakukan kebijakan publik ini?”, memastikan tidak menabrak regulasi. Oleh karena itu, hal ini menjadi degree of implementation, dimana sangat sulit untuk mencapai ideal dari semua sisi, tapi tetap ada second best option.

Tambahan. Bagaimaan menyusun policy recommendation dalam waktu singkat? Pengalaman teori, benchmarking dan experience gut bisa menjadi alternatif sebagai sumber dalam penyusunan policy advocacy. Karena terkadang juga ada ideology based policy, dimana policy maker mengambil kebijakan karena kepercayaan ideologi. Contoh satu harga untuk seluruh Indonesia untuk BBM.

Teori advokasi menggunakan ACF (advocacy coalition framework). Dalam subsistem kebijakan, diperlukan koalisi yang memiliki kepercayaan/ belief yang sama (apa yang boleh dan tidak boleh, baik dan buruk) dengan ketersediaan sumberdaya yang ada, termasuk network. Tentunya ada koalisi yang mendukung dan menolak. Policy broker (pemerintah) yang akan menentukan. Setelah itu diperlukan strategi bagaimana menyampaikan isu tersebut agar bisa menjadi keputusan baik dengan policy brief, letter, memo, dan pamflet. Di luar subsistem kebijakan, terdapat variabel-variabel luar untuk menarik isu kecil kita bahwa hal ini menyelesaikan permasalahan negara (konteks yang lebih luas). Contoh: variable yang secara relatif tidak berubah (kontitusi, regulasi, ideologi, struktur sosial); kejadian eksternal (kondisi sosial ekonomi, perubahan opini publik. Sehingga pada intinya, sebisa mungkin kita bisa mencari koalisi dengan memperluas konteks dan mencegah friksi untuk keberhasilan advokasi. Pada tahapan berikutnya adalah untuk memastikan secara detail bahwa pelaksanaan policy dilakukan sesuai dengan harapan sehingga menghasilkan dampak. Jika tidak, maka kembali lagi menjadi advokasi.

ActionCommunity mobilisationCoalition buildingModel legislation, regulatory feedback
WillCommunity organising, media advocacyChampion development
Awarenesspublic campaign, education
influencer educationPolicy maker education
PublicInfluencer (gate keeper)Decision makers

Dalam melakukan strategi kegiatan advokasi, kita harus memastikan sejauh mana outcome nya (awareness, will, action), dan siapa audience nya -public, influencer (pembisik), dan pengambil kebijakan-. Dalam tingkat awareness, dimana asumsinya seseorang memiliki pengetahuan dasar tersebut, tapi tidak sadar bahwa hal tersebut penting. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan komparasi. Contoh: ada daerah dengan pernikahan dini, lalu karena dianggap biasa secara sosial, lalu dilakukan edukasi bagaimana dapak pernikahan dini dan tidak pernikahan dini. Dalam tahapan “will” yakni untuk menggerakkan, sebagai contoh adalah dengan melakukan kampanye, media advokasi, dan capacity building sebagai aksi simbolik. Sedangkan “action”, lebih kuat lagi sifatnya yakni mobilisasi komunitas yang dituntut lebih pada kemampuan retorikanya dibandingkan data dan substansi (pada saat tahap awareness).

Yang perlu diperhatikan dalam advokasi flowchart, diperlukan pendekatan teknokratis dan politis. Pendekatan teknokratis dilakukan di awal (pendekatan akademis kepada pengambil kebijakan), yang jika tidak berhasil baru pendekatan politis (sebagai contoh pendekatan dengan influencer, sampai demo). Sebelum dilakukan pendekatan politis, dipastikan secara teknokratis kuat. Karena bisa saja ketika membawa massa, mereka tidak mengerti apa ide yang dibawa. Atau ketika sudah punya koalisi bersama influencer, pengambilan kebijakan berjalan terlalu cepat dan buru-buru tanpa mempertimbangkan fisibilitas. Tapi di sisi lain juga jangan buru-buru langsung pengerahan massa (Demontrasi, mogok, dll), karena bisa saja terjadi variasi ide, atau bahkan ada free rider dalam kegiatan tersebut.

Kunci dalam advokasi yakni harus jelas isu nya, target audience, dan target outcome. Kalau dari tiga hal tersebut sudah jelas, pilih apakah pendekatan teknokratis atau politis.