Communication 2020: Bagaimana cara komunikasi dengan jurnalis? press release

Anna Coretchi, Jurnalis, CTC TV presenter, Corsum. Paula Nersesian, PhD, MHR, John Hopkins University, School of Nursing, USA.

Dimulai dengan perkenalan masing-masing, dengan memberikan informasi nama, asal negara, background, dan pengalaman di bidang media. Lalu Anna menjelaskan terkait apa itu komunikasi, dan bagaimaan cara menghubungi jurnalis agar bisa diliput. Beberapa tips untuk menghubungi jurnalis antara lain:

  1. 91% jurnalis cenderung menerima berita dalam bentuk press release melalui e-mail
  2. 63% jurnalis merasa bahwa awal minggu merupakan waktu yang tepat untuk media
  3. Selasa merupakan hari terbaik untuk release
  4. 61% dari media ingin mendapatkan notifikasi di pagi hari

Okay, lalu bagaimana menulis press release yang terstruktur?

  1. Compile. Kita harus bisa membuat seluruh cerita dalam satu baris. Kita harus emnarik pembaca dengan infromasi yang paling bernailai. Jawab siapa, mengapa, apa, dimana, kapan, dan bagaimana.
  2. Content. Detail dan kredibel. Jelaskan secara signifikan ceritanya. Tambahkan latar belakang informasi, quotes sebagai sentuhan manusia dan tambahkan terkait kehidupan di cerita
  3. CTA. Buat pembaca untuk melakukan aksi untuk mengetahui infromasi lebih lanjut dan siapa yang harus dihubungi untuk diwawancara.

Agar meteri dapat dipublikasi, ada beberapa komponen yang perlu diperhatikan agar mendapatkan atensi:

  1. 66% diisi dengan fakta
  2. 62% menggunakan cerita yang menarik
  3. 40% judul yang menarik
  4. 23% jelas dan quote informasi
  5. 17% menggunakan multimedia, links dan sumber informasi (sebagai tambahan).

Yang jelas agar suara kita bisa didengar oleh media, kita nggak boleh menyerah. Harus latihan terus menulis dan follow-up setiap hari karena jurnalis banyak mendapatkan request per hari bisa antara 25-60 email untuk dibaca.

ISIUM 2020: Workshop Penulisan Abstrak

Hans Hogerzeil berbagi pengalaman bagaimana beliau menulis abstrak. Pengalaman beliau sebagai dosen di University of Groningen, Belanda meminta mahasiswa tingkat 1 dan 2 untuk menulis abstrak utnuk simposium. Beliau membuat rating dalam menulis, dengan total nilai 10 yakni:

  1. Judul: 0 (tidak ada judul); 1 (satu kata, contoh negara); 2 (judul lengkap); 3 (judul yang menarik, provokatif).
  2. Metode: 0 (tidak ada deskripsi); 1-2 (teridentifikasi, deskripsi yang jelas)
  3. Kesimpulan: 0 (tidak ada deskripsi); 1-2 (teridentifikasi/ deskrispi yang jelas)
  4. Kalimat yang menarik dan provokatif: 1
  5. flow, bahasa yang bagus, dan tidak ada error dalam menulis: 0-1-2

Beliau juga memberikan pelatihan mengurangi kata abstrak dari 210 menjadi 150, termasuk membuat judul. Ada beberapa hal yang dipelajari adalah , jangan lakukan repetisi. keterangan yang terlalu panjang tidak perlu. Cari kata yang provokatif untuk judul.

Sebagai kesimpulan, komponen abstrak yang bagus adalah

  1. Judul: provokatif dan menarik
  2. Latar belakang: pertanyaan penelitian yang sesuai dan kenapa
  3. Metode: teridentifikasi atau digambarkan secara jelas
  4. Hasil: rangkuman dari temauan, terutama sajikan satu angka
  5. Kesimpulan: teridentifkasi atau digambarkan secara jelas. memiliki implikasi praktis atas hasil
  6. Secara umum: memiliki struktur yang kuat; setidaknya membuat satu kalimat yang provokatif; mengalir, bahasa yang bagus dan tidak ada error dalam menulis.

Beliau juga share terkait bagaimana tahapan menulis. Karena menulis memiliki pembaca yang berbeda. Menulis dimulai dari annex, tabel-tabel hasil detail. kemudian artikel itu sendiri sebagai body, kemudian executive summary, dan yang terakhir abstrak. Hal ini karena atasan, atau menteri mungkin hanya akan banyak abstrak dan executive summary. Sedangkan tingkat manajer akan membaca isi, sedangkan staff teknis akan perlu membaca annex.

Begitupula dengan cara menulis, menulis dari hasil, kemudian diskusi, metodologi bisa diantaranya, dan terakhir adalah latar belakang.

Di dalam paragraf, pastikan kalimat pertama menjelaskan ide utama dari paragraf. Kemudian kalimat terakhir merupakan kesimpulan dari paragarf, dan di tengahnya adalah argumen dari paragraf. Paling penting adalah tiga kata pada kalimat awal paragraf sudah bisa memberikan informasi kepada pembaca. Sebagai contoh: “Kesimpulan dari stud ini adalah”, “Dua argumen utama dari …”.

Terakhir, jangan terlalu pede dengan bahasa Inggris anda, karena kita bukan orang Inggris. Memberikannya pada profesional native proof reader merupakan hal penting sebelum submit.

Ketersediaan obat di Puskesmas dalam era JKN

Ali Kusnadi Satibi Presentasi di ISIUM 2020

Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama memiliki peran penting dalam proses layanan kesehatan. Terdapat empat tahapan dalam manajemen obat: seleksi, pembelian, distribusi dan penggunaan. Dalam manajemen obat ini terdapat beberapa faktor, sumber daya manusia, fasilitas, biaya, alat kesehatan dan sistem informasi mempengaruhi ketersediaan obat. Ketersediaaan obat di tahun 2012 dan 2013 sudah lebih dari 92%. Namun belum ada penelitian terakait bagaimana ketersediaan obat di era JKN (setelah 2014).

Dalam penelitian ini diambil data dari 12 Puskesmas dari kota Yogyakarta, Sleman dan Bantul (masing-masing 4). Diambil data dari laporan obat tahun 2017, mutasi, pemusanahan dan expired, dan kartu stok. Ketersediaan obat dengan membandingkan stok obat dan rata-rata penggunaan obat. Kemudian dicari faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Hasil menunjukkan Sleman bahwa terdapat excess stock >18 bulan di tiga bulan (Sleman mendekati angka 18 bulan, dan dikatakan baik jika antara 12-18 bulan). Sehingga menunjukkan bahwa manajemen obat di Puskesmas kurang efisien. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi adalah lokasi, yakni Sleman, dan jumlah Pustu (semakin banyak Pustu, semakin sulit untuk mengontrol ketersdiaan obat). Sedangkan faktor lain, akreditasi, jumlah apoteker, dan rawat inap tidak menjamin kualitas dan ketersediaan obat.

Komentar penulis: Banyak faktor yang tidak mempengaruhi, apakah karena masalah sample size? Kalau memang tidak ada masalah dengan statistik dan benar, ini menjadi PR besar untuk memperbaiki tenaga kesehatan farmasi dan proses akreditasi. Karena kedua hal ini diharapkan meningkatkan kualitas layanan secara langsung. Setelah diskusi dengan Pak Sabiti, ternyata permasalahan yang terjadi adalah, Dinas Kesehatan yang memiliki power lebih untuk dropping obat, padahal Puskesmas sudah BLUD yang juga bisa malakukan manajemen obat secara mandiri. Sedangkan kapitasi sebagian besar akhirnya digunakan untuk jasa pelayanan.

Miris juga segitu banyak obat akan kadaluarsa dan dibuang jika tidak bisa digunakan. Atau setidaknya berharap bisa didistribusikan kepada fasilitas kesehatan lain yang membutuhkan, terutama swasta atau daerah lain yang kekurangan pendanaan di era JKN ini.

Komentar peserta (Pak Budiono): mungkin akan lebih baik mengukur ketersediaan obat secara langsung, dibandingkan ekspektasi ketersdiaan obat.

Public Knowledge and Awareness toward Antibiotics Usage in Yogyakarta

Susi Ari Kristina Presentasi di ISIUM 2020

Regulasi di Indonesia melegalkan untuk resep dokter ke farmasi untuk antibiotik. Nmun dalam prakteknya, konsumen yang meminta antibiotik tanpa konsultasi. Studi dilakukan dengan cross-sectional dengan interview di September 2018 hingga November 2018, total 268 pasien, 8 klinik dan farmasi di provinsi Yogyaakrta. Hasil studi menunjukkan:

  1. 76% responden menggunakan antibiotik selama enam bulan terakhir.
  2. 58% memiliki pengethauan yang rendah terkait antibiotik.
  3. 23% dari mereka tidak tahu kalau anbiotik harus dengan resep.
  4. Lebih dari 75% anbitiotik diberikan kepada pasien dengan batuk pilek dan infeksi virus.
  5. Sumber informasi terkait anbitiotik dari internet 71%.
  6. 79% antibiotik diperoleh dari peresepan.
  7. 70% yang menyelesiakan pengobatan dengan anbiotik.
  8. 35% menggunakan antibiotik untuk infeksi bakteri.

Oleh karena itu, kampanye terkait penggunaan antibiotik dengan benar perlu dilakukan.

Tapi yang menjadi pertanyaan, seberapa jauh jawaban dari responden dapat dipercaya? karena dimungkinkan pasien mengetahui aturan tapi tidak sesuai dengan praktek yang dilakukan. Karena akan sulit mengingat obat 6 bulan terakhir. Penelitian juga terbatas pada populasi di konsumen toko obat atau fasilitas kesehatan, dan tidak bisa memverifikasi menunjukkan resep dan obatnya. Hal ini akan mempengaruhi interpretasi dari hasil (Komentar peserta).

Project PINTAR: Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance

Luh Putu Lila Wulandari presentasi di ISIUM 2020

Project ini didanai oleh DFAT. Dilatarbelakangi oleh tingginya antibiotik ressistance di Indonesia terutama TB. Akibat dari resistens ini menyebabkan kematian yang diprediksi meningkat di tahun 2050. Secara spesifik di Indonesia, permasalahan muncul akibat dari peresepan anbiotik oleh apotik dan toko obat swasta, karena permasalahan finansial dan kapasitas tenaga kesehatan. Terdapat beberapa tahap dalam project ini, antara lain kualitatif dan kuantitatif survey. Untuk tahap awal, telah dilakukan pengambilan data terkait alasan dispensing, antibiotik apa saja yang resisten, dan antibiotik apa saja yang dispense di farmasi. Intervensi dalam bentuk KIE untuk klien di toko obat, dan membantu proses monitoring di Dinas Kesehatan. Karena banyak toko obat tidak memiliki izin hal ini menjadi sulit untuk dimonitor dari Dinas Kesehatan. Terkait permasalahan dan dorongan finansial atas toko obat, mereka melihat bahwa ini lebih atas dorongan dari demand side, sehingga dibandingkan dengan intervensi finansial, lebih pada intervensi edukasi ke masyarakat.

ISIUM 2020: Bottom UP Approaches, People as the Focus

Hari ini fokus terkait bagaimana melibatkan masyarakat dalam proses advokasi. Beberapa hal catatan penting menurut saya adalah terkait proses sebuah project. Pelibatan stakeholder termasuk masyarakat membutuhkan beberapa tahap. Belajar dari Thailand, ada 5 tahap penting:

  1. Merubah mindset tenaga kesehatan untuk dispensing obat antibiotik (2007-2010). “No dispense”.
  2. Studi fisibilitas to meningkatkan hasil (2010-2011) “don’t leave”. Dalam hal ini memberikan bukti bahwa tanpa antibiotik masyarakat dapat sehat, termasuk kegiatan publikasinya.
  3. Pengembangan inovasi dan keberlanjutan untuk project (2011-2013) “follow-up”. Dalam hal ini meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk pengetahuan atas antibiotik. Terdapat 5 agen utama yakni pengambil kebijakan, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, media, dan kader di desa
  4. Pengembangan partnership eksternal (2014-2017). Yakni lebih melebarkan kegiatan publikasi, seperti membuat film, presentasi internasional.
  5. Pengembangan project di sekolah dan sharing ilmu to merubah mindset di setiap kelompok umur. Tapi tantangannya memang sulit mengukur di masyarakat. Kadang mereka sudah teredukasi, tapi perilakunya tidak berubah.

Selain belajar teknis terkait bagaimana proses scaling-up suatu project, ternyata ada hal yang menarik juga terkait bagaimana sebuah presentasi dilakukan di ISIUM. Ada sesi story-telling. Benar -benar si presenter menceritakan apa yang dialami dan bagaimana proses sebuah project dilakukan. Ada yang pakai presentasi, bahkan ada yang cuma pakai satu gambar dan bercerita saja. Tapi memang harus benar-benar menarik untuk presentasi agar bisa didengar.

ISIUM 2020: Initiative to Improve the Use of Medicines: Country Experiences

Libby Roughead, University of South Australia. Six building blocks to build vision:

  1. Pengembangan kebijakan: kebijakan nasional keshatan, obat, kebijakan lokal.
  2. Fasilitasi dan koordinasi
  3. Tujuan infromasi dan promosi etik
  4. Edukasi dan pelatihan
  5. Pelayanan dan intervensi
  6. Pengumpulan data secara rutin.

Perlu kerjasama antara pemerintah, tenaga kesehatan, industri, dan konsumen. Sehingga menciptakan Konsumen yang sehat.

Lalu dibentuk bangunannya, yakni strategi nasioal terkait kualitas penggunaan obat. Terdapat funding untuk melakukan tes atas ide untuk penggunaan obat; terdapat 235 projects. Prinsip nya adalah orientasi konsumen. Beberapa aktifitas yang didanai antara lain clinical audit.

Proses dikembangkan, yakni pembentukan badan representasi nasioanl (diwakili 28 stakeholder), mengembangkan guidelines.

Keberlanjutan. Dalam 15 tahun ke depan fokus untuk membangun tenaga kerja dan meningkatkan partisipasi dalam kualitas penggunaan aktifitas obat. Terdapat pengembangan baru, peningkatan data collection, sebagai contoh. Namun terdapat beberapa losses, di tahun 2006, representative nasional agar diberhentikan, sehingga tidak ada ownership lagi.

Renewal. di tahun 2019, pemerintah Australia megnumumkan penggunaan obat yang berkualitas dan aman, sebagai prioritas ke-10 nasional. direncanakan akan ada kebijakan terkait medicine.

Pembicara ke-2. Ubaidulla Datkhayev, Beliau menjelaskan mengenai negara Kazakhstan. Negara multi-ethnic, termasuk Rusia, Ukraina, dan multi-religion, yang didominasi oleh Islam (70%). Sudah terdapat beberapa regulasi terkait impelementasi rational use of medicine di Kazakhstan. Antara lain terkait national drug formulary, medicine for citizens, standard akreditasi, monitoring efek-samping, produk medis dan peralatan medis. ke depan akan dilakuakn regular monitoring terkait standar penggunaan obat, baik secara internal maupun external. Secara internal, penilaian oleh organisasi kesehatan meliputi: aktivitas komisi untuk organisasi, self-assessment. Sedangkan eksternal, meliputi pemeriksaan dokumen, observasi dan interview tenaga kerja. Tujuan dari analisis ini untuk interpretasi outcome dan follow-up keputusan kebijakan.

Penguatan juga dilakukan kepada farmasis terkait penggunan obat secara rasional melalui proses edukasi. Dimana penggunaan obat harus berdasarkan indikasi medis, bukan memuaskan kebutuhan individu pasien. Namun yang menjadi tantangan adalah memotiviasi farmasi untuk mengoptimalkan kualitas konsultasi.

Kazakhstan telah mengembangkan Kazakhstan National Medical Formulary (KNF), sebagai baigan dari strategi pengobatan, atas kerja antara Kementeiran dan World Bank. Visi dari KNF ini adalah mengoptimalkan penggunaan obat secara rasional dan mengedukasi untuk praktisi. KNF bersifat digital dan free sehingga mudah untuk diakses. Secara prinsip menggunakan klasfikasi WHO framework, Didesain, dan dikomplikasi oleh ahli internasional dengan kolaborasi klinisi lokal. Sehingga tidak hanya daftar obat, tapi juga terkait klinis dan manajemennya.

Pembicara ke-3 (Cuba; Dulce Calvo). Cuba sebagai low income countries, tapi memiliki political will untuk penggunaan obat secara rasional. Secara prinsip sistem kesehatan di Kuba: Universal, Free, Accesible, Holistic, Socialist, for region. Di tahun 1993, Kuba mengalami krisis, dan dimulainya strategi pharmacoepidemiology di tahun 1996 yang ada di masing-masing kota. Kemudian di tahun 2001 dimulai proses go industri (produksi nasional oleh BioCuba Farma), tapi intinya dimulai strategi yang baik terkait farmasi dari perencanaan, seleksi, produksi, hingga penggunaannya. Tapi tentunya masih ada obat yang diimport, sebagianb esar digunakan untuk onkologi (24%) dan hematologi (14%). Dikembangkan juga formularium nasional untuk profesional terkait daftar obat esensial, lalu buletin dan guildelines. Beberapa aktor yang memegang peranan penting adalah publik, seperti sekolah, orgnisasi; media; dan akademia.

Pembicara ke-4, (Thailand, Prasit Watanapa). Thailand telah melalui 40 (Sejak 1976) tahun perjalanan dalam perjuangan rasional drug use. Beberapa event penting adalah ketiak pilot project , RDU hospital dengan nama PLEASE strategi (P: PHarmacy & Therapeutics commitee; L: labeling and leaflet; E: Essential RDU tools; A: awarness; S: special drug; E: Ethic). Dimulai di Rumah sakit pendidikan, karena proses pendidikan disana. lalu 2016 , prmosi terkait kriteria ethical, 2017 diteapkan dalam proses standar akreditasi, di tahun 2018 mengembangkan resolusi sebagai negara RDU dan mengimplementasikan rekomendasi WHO 2002 termasuk pengembangan badan otonomi yang mengawasi. 2019, Community centred system. Dengan pelaksanaan ini, telah merubah penggunaan antibiotik dan turun tajam. Tentunya hal ini juga menurunkan biaya lebih dari 50% dalam 2 tahun.

Negara RDU adalah negara yang menginisiasi secara tailor-made untuk mengembangkan RDU secara nasional dengan mematuhi guidelines WHO, dari upstream (industri farmasi), mid stream (fasilitas), downstream (people). Tiga hal dalam elemen mekanisme ini: Self-consciosuness and idividual awareness; good administrations; act effective regulatory & monitoring system. RDU ini merupakan branding dari negara Thailand untuk terapi kepada orang asing, memastikan tidak ada obat yang berlebih dan charge yang berlebih, selain itu juga untuk mengatur sektor swasta. Tiga elemen ini saling berhubungan untuk keberlanjutan. RDU sebagai hak dasar, normal sosial, dan layanan yang berkualitas untuk rakyat Tahiland. Goal dari RDU ini adalah meningkatkan kualitas of life and sustainable system. Proses pengambilan kebijakan harus bersama solusi, dan dipastikan bahwa mereka paham bahwa masyarakat willing untuk melakukan, bukan need to do. Sehingga dimulai dari kesadaran di tingkat komunitas, dan indikator monitoring yang lengkap dari input hingga outcome.

Kunci sukses dari promosi pelaksanaan RDU adalah:

  1. Multidisciplinary national body
  2. National essential medicines list
  3. use of appropriate and enforced regulation
  4. Sufficient expenditure to ensure availability of medicines and staff
  5. Public education about medicines
  6. Establishment of drug and Rx communities in districts and hospitals
  7. Supervision, audit and feedback
  8. Use of clinical guidelines
  9. Use of independent information on medicine
  10. Avoidance of perverse financial incentives. Regulasi terkait pharmaceutical company tidak boleh mensponsori langsung ke dokter, tapi ke fasilitas kesehatan. Sehingga fasilitas kesehatan yang memilih dan memiliki power untuk RDU.
  11. Inclusion problem-based pharmacotherapy training in undergraduate curricula
  12. Continue medical education as a licensure

Diakui memang sulit ketika pelaksanaannya, namun “Difficult” is not a synonym of “Impossible”. Difficult is need more “Effort”

International Society to Improve the Use of Medicine (ISIUM) 2020: Hari 1, Sesi 1

Bangkok 26-28 Jan 2020

Belajar di lingkungan baru, farmasi. Suatu kehormatan untuk diundang berbicara di pertemuan ini, terkait peningkatan dalam penggunaan obat secara rasional. Judul tepatnya: People Improving the Use of Medicines: What We Know and Don’t Know.

Pembukaan oleh Marry Murray, Niyada Kiatying-Angsulee, dan Arturo Quizhpe. Sambutan terkait regulasi selama pertemuan, dan harapan bahwa kegiatan ini memiliki dampak perbaikan dalam penggunaan obat. Terutama obat antibiotik, yang dimulai diedukasi sejak dini dalam pendidikan.

Keynote oleh Mongol Na Songla, Mantan Menteri Kesehatan Thailand. Intinya adalah kebersihan, pencegahan penyakit, promosi kesehatan, keberlanjutan alam; Self reliance; The four noble truths: 1) Suffering or “Dukkha”; 2) the origin of suffering or “Samudaya”; 3) The cessation of suffering or “Nirodha”; 4) The path of cessation of suffering or “Magga”. Hidup kita merupakan milik alam, dan mikroorganisme, dan gen yang selalu bekerja keras meskipun kita tidur. Oleh karena itu, kita harus berhenti untuk membunuh mereka, mereka adalah teman kita.

Kathleen A Holloway. Rational use of drugs sudah digaungkan sejak 1985 dalam Nairobi WHO conference, resolusi WHA 39.27. Lalu kemudian dilanjutkan pada beberapa konferensi, antara lain 1986 international network of the rational use of drugs, ISIUM conference (1997, 2004, 2011) dan 2007 resolution: progress in the rational use of medicines. Penggunaan antibiotik di rumah sakit di Eropa, paling rendah adalah Netherland, sedangkan paling tinggi Malta. Sayangnya data ini tidak ada di LMICs. Lalu kemudian dilakukan pegnumpulan data oleh WHO, dan kepatuhan terhadap pengobatan lebih baik di public sector dibandingkan private sector. Sebagai contoh di Timor leste penggabungan obat dalam plastik obat, atau Indonesia menggunakan puyer. Kenapa tidak memberikan obat secara rasional? banyak alasan, antara lain, bagaimana saya bisa mengdiagnosis dengan baik dengan 1 menit waktu pemeriksaan, obat yang mau kadaluarsa sehingga didahulukan, pasien sudah diberikan dokter lain antibiotik, sehingga perlu antibiotik yang lebih tinggi. Ada bukti bahwa dengan policy dan regulasi yang kuat mempengaruhi penggunaan obat secara rasional. Yang perlu dilakukan ke depan adalah, pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan rational use medicine. Kebijakan tersbut di antara lain adalah: monitoring, edukasi, supply sistem dan kebijakan generik, implementasi dan update formularium, melarang farmasi / perscriber yang tidak kompeten, memberikan obat gratis di sektor publik. Secara global, perlu follow up atas resolusi WHA, pengembangan action plan berdasarkan analisis situasi, lobi di seluruh tingkat stakeholder, menggunakan metode baru untuk mempromosikan RUM, dan setidaknya 5% dari anggaran medicine untuk mempromosikan RUM. Mendorong kolaborasi dalam research dibanginkan kompetisi.

Keynote ke 3 oleh Mirfin Mpundu, former Directors of the Ecumenical Pharmaceutical Network. Maaf, tidak sempat mencatat lengkap. Tapi secara sekilas beliau menekankan pada kerjasama antara pemerintah dan komunitas termasuk donor dalam peningkatan rasional use of drugs.

Okay lanjut ke sesi berikutnya..