Sumber: http://kpmak-ugm.org/
Oleh: Firdaus Hafidz
Tulisan ini muncul karena kegelisahan muncul di sela-sela semangat Jamkesda yang terus berkembang dan tumbuh saat ini. Tidak ada satu kata pun yang menyinggung Jamkesda secara tersirat maupun tersurat dalam UU SJSN maupun BPJS. Pertanyaan besar kemudian muncul, bagaimana jika mimpi buruk Jamkesda muncul? tidak ada integrasi dari pemerintah pusat dan mereka harus mati dalam satu genggaman BPJS.
Jawaban dari Jamkesda bervariasi. Bagi daerah yang kaya, mereka merasa itu bukan masalah. Namun syaratnya adalah paket manfaat jaminan kesehatan yang sudah ada selama ini tidak boleh dikurangi. Sebaliknya, bagi Jamkesda yang berasal dari daerah yang kurang mampu menginginkan dengan adanya BPJS dapat meningkatkan paket manfaat yang selama ini telah ada.1
Sangat terlihat kentalnya semangat kedaerahan atau kepusatan. Tidak ada rasa persatuan sebagai bangsa Indonesia. Yang pusat inginnya memonopoli tanpa melihat potensi daerah. Namun di sisi lain, antar daerah pun tidak ada semangat untuk saling membantu dan gotong royong.
Inilah sebuah idealisme yang dibangun tanpa fondasi wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai suatu pemahaman terhadap konsep memandang diri sebagai suatu kelompok bangsa yang terikat akibat dari kebersamaan sosial, sejarah dan perjuangan bersama. Rasa kebangsaan ini lahir dan tumbuh secara alamiah sebagai wujud untuk mencapai cita-cita bangsa yang satu.
Mari kita berimajinasi bersama dengan logika sederhana. Saat ini, cakupan masyarakat yang dilindungi oleh JAMKESMAS saat ini telah mencapai 76,4 juta jiwa dengan anggaran mencapai 5,5 triliun di tahun 2011. Lalu bayangkan APBD seluruh kab/kota di luar belanja pegawai kita yang sudah mencapai 10% adalah sebesar 26 triliun dengan pertumbuhan rata-rata 11 persen setiap tahunnya. Angka ini sama persis dengan anggaran APBN tahun 2011.2 Dan jika daerah minimal bisa berkontribusi yang sama dengan pemerintah pusat yakni 5,5 triliun untuk jaminan kesehatan, berarti Indonesia telah dapat melindungi secara komprehensif kepada 152,8 juta jiwa (59%) warganya. Dengan kontribusi sebesar itu, maka harapannya pemberitaan di media sudah bisa berbalik menjadi, “silakan sakit meski anda miskin”.
Memang tidak mudah, seluruh rakyat Indonesia ditantang dan diuji wawasan kebangsaannya. Melalui sistem asuransi sosial, seluruh daerah dan masyarakat wajib membayar premi sebagai wujud dari gotong royong yang sebenarnya untuk saling membantu antara kaya dengan miskin, sehat dengan sakit dan tua dengan yang muda.
Dengan terjaminnya kesehatan seluruh rakyat Indonesia tidak hanya meningkatkan status kesehatan, namun juga memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Manusia yang sehat menjadikan bangsa dan rakyatnya menjadi bangsa yagn pintar, produktif dan kompetitif. Dengan begitu, secara sinergis dapat meningkatkan tingkat pendapatan dan memutus lingkaran setan kemiskinan.
Kenyataan yang terjadi jika kondisi wawasan kebangsaan anak bangsa telah pudar dan punah termakan ideologi kapitalisme maka cita-cita yang sangat mulia dan luhur tersebut bisa saja hanya terpojok dan tidak ada lagi ikatan nilai-nilai kebangsaan yang tertanam untuk mempersatukan bangsa untuk mampu melihat musuh bersama. Semoga kita terhindar dari kemiskinan, kebodohan, dan perpecahan bangsa.
References
1. Shidieq FHA. Data Primer Wawancara Harapan Asuransi ke Depan. Yogyakarta2012.
2. Kementerian Keuangan RI. Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) 2011. Jakarta: DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN2012.