Navigating the Future of Health Economics: Reflections from INA-HEA 2023

As Jakarta buzzed with the converging minds of health economists and policymakers, the 8th INA-HEA Biennial Scientific Meeting offered a profound glimpse into the evolving landscape of Indonesia’s health sector.

In the grand halls, Isa Rachmatarwata, representative from the Director-General of Budget at the Ministry of Finance, presented a compelling narrative about Indonesia’s economic challenges and health sector prospects. Despite the looming threat of the middle-income trap, Rachmatarwata suggested that sustained economic growth could be achieved by boosting productivity through strategic health investments. Anchoring his argument on the recent COVID-19 pandemic, he illustrated the government’s pivot towards health, with an emphasis on equitable access to prevent any citizen from being left behind.

The conference also shone a spotlight on the country’s strides towards Universal Health Coverage (UHC). With a remarkable 94% coverage rate as of mid-2023, the JKN program’s success story was a testament to the nation’s commitment. Yet, the discourse was not without its concerns. The burgeoning issues of chronic and non-communicable diseases laid bare the need for a paradigm shift towards sustainable health financing and robust public-private partnerships.

The demographic trends presented by Timothy Miller from the UN painted a picture of a future where the elderly population could potentially reshape the economic and social structures. With birth rates declining, a significant portion of health spending will inevitably be directed towards this growing demographic, posing a significant challenge for Indonesia’s health spending.

Amid the discussions, the concept of ‘active-healthy ageing’ was championed by Aris Ananta, serving as a clarion call to celebrate the ageing process rather than fear it. This approach underscored the need for a societal shift in how we perceive the twilight years—not as a burden but as a period of life worthy of investment and joy.

A pivotal part of the conference was dedicated to the role of Health Technology Assessment (HTA) in shaping Indonesia’s health policy. The debates were fierce and the stakes high as experts grappled with the question of integrating advanced health technologies into the JKN program. The consensus was clear: HTA should be leveraged to inform cost-effective and equitable health policy decisions, especially in a country where resources are finite.

The dengue fever sessions highlighted not just the clinical impact of the disease but its economic toll. With innovative solutions like dengue vaccines on the horizon, there was a palpable sense of urgency to address this public health threat more effectively.

The innovation dialogue, spearheaded by Prof. Laksono, addressed the critical balancing act between fostering health innovation and ensuring the sustainability of the health system. The discussions acknowledged the potential of new technologies but also their implications for health economics and policy.

The conference closed with a call to action, urging the translation of research into actionable policies. There was a shared understanding that planning, implementing research, and aligning with institutional cultures and economic realities are vital for building healthcare resilience.

As attendees dispersed, the air was thick with ideas and the responsibility of carrying these insights forward. For Indonesia, the INA-HEA 2023 was not just a conference but a stepping stone towards a future where health economics and policy evolve in tandem to build a stronger, healthier nation.

Apakah filantropisme bisa mendorong peningkatan health expenditure?

Berdiskusi dengan mahasiswa S3, terkait bagaimana intepretasi situasi ekonomi dan kesehatan kita. Pertanyaannya mendasar dan penting berdasarkan dua slide dari Prof Laksono yang saya juga berusaha memahaminya.

  1. GDP untuk kesehatan dalam hal ini. Apakah yang dimaksud adalah health expenditure? Atau alokasi anggaran pemerintah Indonesia untuk kesehatan?
  2. Lalu di garis yang berwarna biru sering diartikan: pendapatan masyarakat yang senantiasa bertambah. Jadi, apakah GDP nasional ini bisa diartikan sebagai pemasukan perkapita?
  3. Pak Laksono membandingkan GDP Kesehatan di Indonesia dengan Thailand. Didapatkan selisih 1,6%, ekuivalen dengan 200 T. Dari mana mendapatkannya?
  4. Apakah artinya di sini meningkatkan Health Expenditure berarti seolah menaikkan konsumsi masyarakat dalam sektor kesehatan? Atau mungkin dengan mekanisme dengan mendorong pemerintah agar mau mengalokasikan sebagian dari Rp 15 Quadrillion itu lebih banyak untuk kesehatan, dari tadinya 3% (Rp 450 T) menjadi 4% (Rp 600 T)?

Dari pertanyaan tersebut saya berusaha menjawab sebagai berikut:

  1. Saya biasanya pakai data bersumber dari World bank terkait GDP berikut: GDP (current LCU) – Indonesia | Data (worldbank.org). Keilhatannya grafiknya mirip. GDP (Gross domestic product ) menurut sepemahaman saya adalah seluruh nilai barang dan jasa  yang diproduksi oleh negara dalam periode tertentu (dalam hal ini per tahun). Jadi bisanya dihitung dengan cara seluruh konsumsi masayarakat, pemerintah, investasi dan exports dikurangi import. Jadi intinya menilai bagaimana perkembangan ekonomi sebuah negara.
  2. Tapi tidak bisa diartikan bahwa ada peningkatan pendapatan masayarakat per kapita. Kalau pertumbuhan penduduknya lebih cepat dibandingkan dengan GDP , berarti kan per kapita lebih rendah. Namun sekali lagi, karena ini pakai local currency seringkali terlihat naik tajam, padahal karena inflasi kita juga tinggi. Jadi kenaikan pendapatan belum berarti sejahtera. hehe.  Sehingga lebih mudah untuk komparasi antar negara melihat GDP per kapita dengan USD untuk melihat bagaimana konsumsi masyarakat per kepala. Sehingga jika semakin tinggi, berarti semakin sejahtera. 
  3. Nah kemudian, ekonomi kesehatan biasanya mengukur bagaimana pembiayaan kesehatan berdasarkan pengeluaran kesehatan per GDP ini. Current health expenditure (% of GDP) – Indonesia | Data (worldbank.org) maka ditemukan lah sekitar cuma 3%. Total pengeluaran kesehatan juga termasuk seluruh pengeluaran kesehatan baik dari sisi publik maupun swasta, termasuk rumah tangga.
    Untuk perbandingan antar negara, bisa kembali melihat website Current health expenditure (% of GDP) – Indonesia, Thailand | Data (worldbank.org) bisa dilihat bagiamana fluktuasi memang sekitar selisih 1% lebih tinggi Thailand (Beda angkanya dengan milik Prof Laksono). Untuk konversi 1% tersebut, menurut saya mungkin bagaimana jika Indonesia juga meningkatkan helth expenditure 1% of GDP di Indonesia yang awalnya cuma 3% menjadi 4%. nah 1% ini senilai dengan 158 Triliun Rupiah. Karena GDP kita sekitar 15 Quadrillion. jadi kalau menurut beliau sekitar 1.6% , yah memang sekitar 200T. 
  4. Total health expenditure terdiri dari berbagai sumber baik pemerintah, swasta termasuk rumah tangga dan donor. Bisa dilihat grafiknya di Financing Global Health | IHME Viz Hub (healthdata.org) dan biasanya untuk menaikkan total health expenditure ini, kita tidak bisa bergantung pada konsumsi rumah tangga, karena tentu rumah tangga punya keterbatasan dan visi nya memang kita minimalisir out of pocket (mengurangi catastrophic cost). Belajar dari negara maju, bisa terlihat, bahwa pengeluaran kesehatan tetap didorong adalah dari komitmen pemerintah, atau kalau di negara kurang maju bergantung pada donor (namun biasanya tidak sustainable). Donor untuk Indonesia bisa terlihat masih sangat kecil kalau dilihat proporsinya. Nah kalau pemerintah mau realokasi ke kesehatan, tinggal kita harus tau persis dari mana sumbernya, dan untuk apa? sebagai contoh, apakah subsidi bahan bakar, insentif pajak otomotif selama ini memang lebih prioritas dibandingkan Kesehatan? Meamng cukup menantang, karena saya pernah mendengar dari kemenkeu, kalau saat ini pun kemenkes tidak bisa menyerap anggaran dengan baik dan outcome yang belum sesuai harapan.  Jadi pertanyaan sederhananya, kenapa harus dinaikkan anggarannya? haha.. tapi initnya alokasi kesehatan kita masih kecil dibandingkan negara lain, dan perlu dicari sumber lain untuk bisa memberikan pelayanan yang berkualitas dan masyarakat yang lebih sehat. Apakah menurut anda, filantropisme kita bisa mendorong peningkatan pengeluaran kesehatan?

Budget Impact Analysis

Oleh Septiara Putri (FKM- UI)

Budget impact analysis digunakan di akhir tahap sebagai penilian terhadap affordability. Kenapa BIA penting? dilakukan untuk mengestimasi konsekuensi finansial dari adopsi sebuah strategi atau teknologi dalam sistem kesehatan. Melihat bagaimana perubahan finansial berdasarkan skenario. Tentunya hal ini digunakan untuk pengambilan keputusan berdasarkan affordability dan alokasi (short term costs). Alat ini juga sebagai komplementer atas evaluasi ekonomi. Tentunya BIA sangat spesifik untuk konteks negara terkait.

Hasil dari BIA digunakan untuk reimbursement, formulary approval , investment/ disinvestment decision; budget planning dan forcasing.

Analytical model bisa bersfiat statik atau dinamik. Perspektif biasanya adalah payer yang bertanggungjawab atas pendanaan. Target populasi biasanya adalah untuk populasi yang diasuransikan yakni BPJS. Cost yang diukur adalah direct cost, karena fokusnya adalah payer. Market behaviour tergantung dari apa yang ada di konteks, dengan paramter input dan output.

Secara umum perbedaan economic evaluation dan BIA adalah

ParamtersEconomic evaluationBIA
KonsepValue for moneyAffordability
TujuanEfisiensiDampak finansial
WaktuTergantung dari progress penyakit atau seumur hidupShort term
PerspektifSocietal, pasien, dllPemegang anggaran/ pembayar
BiayaBiaya langsung dan tidak langsungBiaya langsung
OutcomeEstimatedNot estimated
KomparatorUntuk spesifik teknologiSkenario. Punya bukti untuk negosiasi harga untuk sistem kesehatan
HasilICER/QALY atau outcome kesehatan lainnyaAnnual budget yang diperlukan tau potensi saving
InterpretasiICER < tresholdTotal biaya
Sensitivity analysisPossible with limitationDengan spesifik konteks, misalnya satu intervensi naik % yang lain tetap atau turun %

Bagaimaan cara melakukan BIA:

  1. Estimasi target populasi. Contoh: Populasi Indonesia 250 juta dan yang terkena kanker adalah 150rb dan yang metastatik kanker adalah 50rb. Data bisa diperoleh dari BPS, registry, atau expert panel untuk mengetahui berapa kasus yang baru.
  2. Menentukan periode waktu. Biasanya mengetahui budget 5 tahun ke depan. Dalam beberapa kasus butuh waktu jangka pendek untuk acute condition, atau panjang ketika chronic condition (tergantung situasi). Di setiap tahun ada cohort baru sehingga memperhitungkan kasus yang meninggal dan kasus baru.
  3. Mengidentifikasi saat ini dan projected treatment mix. Di setiap tahun kita memperhitungkan terapi A dan B dengan proporsi yang berbeda-beda.
  4. Mengestimasi biaya obat saat ini dan masa depan. Dengan skenario berdasarkan harga negosiasi atau harga asli.
  5. Mengestimasi perubahan biaya terkait penyakit. Sangat tergantung seberapa kompleks paramter yang hendak dimasukkan. Terkadang pengambil kebijakan butuh yang terjadi saat ini dengan hasil yang cukup sederhana. Sebagai contoh sekanrio nya adalah untuk melihat bagaimana rehospitalisasi, recurrent event, dll
  6. Mengestimasi dan mempresentasikan perubahan budget tahunan dan luaran kesehatan. Biasanya pengambil kebijakan membutuhkan informasi secara jelas dalam bentuk grafik dan cohort matrix.

Metodenya terdiri statik dan dinamik. Statik biasanya waktunya pendek dan melihat bagaimana rehospitalisasi. Kalau Dinamik, biasanya juga memperhitungkan ada kematian dan kasus baru.

Contoh aplikasi BIA adalah melihat Rituximab + CHOP for non-hodkin Lymphoma subtype diffuse B large cell (DLBCL). Di awal, ICER nya cost effective. Kemudian, dilakukan budget impact dengan time horizon 5 tahun dengan skenario penurnan harga 10% hingga 75%. Lalu dengan harga tersebut dibandingkan dengan intervensi saat ini total budgetnya. Tapi permasalahannya kita nggak ada cut off, berapa budget yang bisa dianggarkan atau dikatakan besar atau sedikit penambahannya.

Contoh lain adalah Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) vs Hemodialisis. Ternyata kedua duanya tidak cost-effective, tapi dengan melihat travel cost pasien, ternyata lebih murah yang CAPD. Tapi life time cost nya tidak berbeda jauh. Akhirnya pengambil kebijakan tetap mengcover keduanya dengan mengarah kepada kebijakan PD first dan persiapan SDM dan infrastruktur.

Beberapa tantangan dan diskusi lebih lanjut adalah: terkait ketersediaan data, berapa cut-off yang dianggap affordable untuk bisa memutuskan ketika cost effective tapi apakah affordable atau tidak. Perlu melibatkan seluruh stakeholder (karena dengan perubahan intervensi dibutuhkan perubahan infrastruktur, guidelines, dll), agen hanya bisa memberikan beberapa skenario, dan kuat-kuat negosiasi terkait harga.

Terdapat paper budget impact analysis oleh Sean Sullivan dan essai Alyssa Bilinski yang juga melihat bagaimana ketika cost effective tapi tidak affordable.

Uncertainty in Health Economic Evaluation

Oleh Didik Setiawan (Center for Health Economic Studies, Universitas Muhammadiyah Purwokerto)

Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena ada ketidakpastian dalam studi evaluasi ekonomi. Kenapa ketidakpastian ini perlu diperhitungkan? Karena keputusan diambil dari data rata-rata cost-effective atas intervensi layanan kesehatan yang diambil adalah benar. Selain itu, memastikan bahwa bukti mencukupi atau lengkap, sehingga kadang setelalh ICER muncul butuh menunggu untuk mengambil data tambahan untuk memperbaiki parameter.

Jenis dari ketidakpastian terdiri dari tiga kelompok: 1) Ketidakpastian metodologi. Untuk Indonesia sudah cukup bagus dengan adanya pedoman dari KPTK. Contoh: discounting sudah ditetapkan, perspektif sudah ditetapkan, sehingga keputusan sudah jelas.; 2) Ketidakpastian model. Harus dikonsultasikan kepada para ahli, dan memutuskan model kompleks atau sederhana. Untuk memutuskan kadang kita bisa membuat beberapa model dan memasukkan parameter yang sama, dan dilihat bagaimana hasil ICER nya, apakah berubah signifikan atau tidak. Oleh karena itu, lebih mudah jika mengembangkan sendiri agar dapat dilakukan validasi dan pengembangan yang lebih kompleks; 3) Ketidakpastian parameter. Pada umumnya kita menggunakan rata-rata, ada baiknya kita juga mengakomodir confidence interval, dan melihat bagaimana perubahan hasilnya.

Univariate uncertainty analysis. Ada obat dengan ICER 6500, dengan WTP 10rb/ QALY. Sehingga ada kemungkinan bisa diterima. Lalu bisa dilihat bahwa biaya dipengaruhi oleh: harga obat, jumlah kasus penyakit, probabilitas, efektivitas, efek samping obat; Sebagai contoh kita menggunakan niai input parameter biaya dan QALY untuk kedua obat dengan nilai minimum dan maksimum, dengan merubah satu parameter tapi paramter lainnya tetap (menggunkan basecase). Contoh di tabel berikut:

input parameterinput paramterICER minICER max
Input parameterbasecaseminimummaksimumminimummaksimum
Nilai ICER dari basecase6,250
Biaya Obat A1000090001200018,750-18,750
QALYs A0.750.60.792,17412,500
Biaya Obat B110500990011000-1,25012,500
QALY B10.830.810.858,3335,000

Dengan hasil paramter tersebut, dengan asumsi jika WTP nya adalah 10rb, Ternyata ada kondisi di mana bisa terjadi ICER lebih dari 10rb. Ada beberapa pilihan pengambilan keputusan, yakni terima apa adanya saja, atau diterima dan dievaluasi dengan asumsi CI nya lebih kecil. Di Taiwan bisa juga dengan hasil sementara yakni, diterima dengan kondisi, kemudian dievaluasi kembali ICER nya. Bagaimana jika tidak ada nilai minimum dan maksimum? bisa juga menggunakan asumsi % dari nilai rata-rata. Lalu hasil akhirnya dengan berbagai skenario tersebut dibuat tornado diagram dengan nilai tengah mean ICER dan dipasang garis nilai WTP. Skenario analisis yang perlu diperhitungkan antara lain: 1) metodologi (discounting 3/3% atau 4/1.5%, perspektif societal atau payer); 2) Model (menggunakan 2 sampai 3 kompartemen); 3) parameter (probability, cost , RR, dll). Sehingga dengan 3 aspek dan 2 skenario masing-masing berarti 3^2 atau 8 skenario.

Average incremental net monetary benefit (INMB).

INMB = delta Efektif *WTP – delta Cost

Berfungsi untuk membandingkan ketika pembadingnya lebih dari dua. INMB intervensi B1 vs A dan INMB intervensi B2 vs A. Lalu dibandingkan mana yang lebih tinggi rata-rata INMB nya, dibandingkan dengan probability. Karena rata-rata memberikan informasi magnitude benefit.

Probabilistic Sensitivity Analysis. Nilai input dirubah secara cak dan ICER dihitung ulang secara simultan. Untuk PSA sifatnya tidak deterministik seperti sebelumnya, tapi semua parameter diganti secara acak (berdasarkan range nilai minimum dan maksimum) dan dihitung secara simultan. Bagaimana PSA mengambil datanya, diambil berdasarkan distribusinya.

Tipe datanature of dataDistribusi dari sample mean (ketidakpasitan)
Large sample
AllNormal
Sample size kecil
Cost0- infinityGamma
Probability0-1Beta
Relative risk0-infinityLogNormal
Utility0-1Beta (or gamma)

Oleh karena itu diperlukan macro, fungsi distribusi dan random number genrator. Kemudian diulang dan direkam dengan macro misalnya untuk 10rb kali dan dilakukan plot di CEA plane. Jika benar, maka ICER mean berada di tengah cloud. Bagaimana cara interpretasinya? dilihat berapa % ICER yang berada di bawah garis WTP. Contoh 82%, berarti pengambilan keputusan benar 82% atau risiko 18% kesalahan. Menunggu penelitian ulang juga punya risiko karena contoh penundaan vaksinasi HPV bisa berisiko terjadinya penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan risiko 18% tadi untuk 30 tahun ke depan.

Pemodelan dalam Studi Evaluasi Ekonomi

Oleh Dwi Endarti (Fakultas Farmasi, UGM)

Pendekatan studi farmakoekonomi atau evaluasi ekonomi terdiri dari farmakoeonomi berbasis studi klinik (bersamaan dengan clinical trial), farmakoekonomi berbasiss studi observasional, dan farmakoekonomi berbasis modeling.

Farmakoekonomi berbasis studi klinik, berada pada fase 3 untuk memberikan bukti ekonomi terkait pembayaran. Farmakoekonomi berbasis studi observasional bisa dilakukan dengan prospektif, database, dan medical records. Farmakoekonomi berbasis modeling (data yang diekstrapolasikan menggunakan logika dan persamaan matematika sehingga mengahsilkan kesipulan studi). Data bisa berasal dari hasil uji klinis, observasi dan estimasi/ asumsi.

Memang model adalah suatu penyederhanaan dari realitas. Seringkali memang banyak yang salah, tapi bermanfaat. Tahapan dari pengembangan model adalah:

Menentukan permasalahan yang dianalisis, dengan menggunakan PICO (Patient, intervention, comparator, outcome). Dalam comparator bisa menggunakan alternatif lain atau tanpa pengobatan. Dalam outcome contohnya bisa QALY.

Menentukan batasan model. Sebagai contoh mengasumsikan penyakit degeneratif tidak mempengaruhi obat vaksinasi, atau tidak memasukkan co-infeksi bakteri lain, karena akan menambah parameter dan kompoleksitas model

Membuat struktur dari model. Yakni mengembangkan jenis alternatif pilihan terapi, perjalanan penyakit, dan struktur dari model yang didukung oleh bukti ilmiah.

Identifikasi dan mensintesis parameter input. Diantaranya adalah probabilitas, efektivtas, biaya dan outcome (utility).

Mengatasi ketidakpastian dan menggunakannya. Ketidakpastian merupakan hal yagn tidak bisa dipisahkan. Sebagai contoh ketidakpastian parameter dan keputusan. hal ini ICER yang dihasilkan juga mempunyai ketidakpastian.

Tipe model yang bisa diguankan dalam HTA diantaranya adalah Decision tree, Markov model, Discrete event simulation, system dynamic model, agent-based model. Decision tree memiliki beberapa komponen: nodes (decision choice, chance, outcome – terminal end). Probability atas setiap kesempatan dengan total 1, dan outcome values. Tahapan dalam mengembangakan analisis decision tree: identifikasi keputusan, struktur keputusan, menentukan konsekuensi probabilitas, menentukan nilai dari outcome baik biaya maupun QALY, Memilih outcome yang lebih baik.

Contoh pada pasien hip replacement diberikan heparin dengan konvensional. Konsekuensi yang mengikuti adalah mengalami DVT dan tidak DVT. Lalu outcome yang mau dinilai di akhir adalah apakah mengalami perdarahan atau tidak dari masing-masing . Kemudian dimasukkan probabilitas dari kejadian DVT/no DVT dan bleeding/ no bleeding dari pemberian heparin dan konvensional. Ternyata kalau dilihat dari kejadian DVT lebih bagus heparin, namun terkait kejadian perdarahan lebih bagus konvensional. Tahap berikutnya ditentukan biaya, yakni terdiri dari biaya heparin, konvensional, biaya terjadinya DVT dan bleed. Selain biaya, juga ditentukan nilai utility, DVT (0,7), bleed (0.95), DVT dan bleed (0,65) dan tidak keduanya (1) yang dimasukkan di akhir. QALY adalah utility x year life, sebagai asumsi life year nya (1), sehingga utility = QALY.

Lalu dihitung ke belakang untuk menghitung QALY dan biaya heparin dan konvensional dengan masing-masing probabilitas. Lalu dibuat table CEA

StrategyCostIncremental costQALYIncremental QALYICER ($ per QALY)
konvensional5550.92
heparin630750.950.032500

Sebelum menghitung ICER, sebenarnya kita harus mengetahui di kuadran mana posisinya? ternyata posisinya adalah di kanan atas, di mana efektivitasnya + dan biaya juga + .

Markov model. Markov model memiliki status kesehatan. Contoh ada well, sick dan dead. Lalu ada siklus dimana ada probabilitas dari well ke well, sick dan dead, lalu ke siklus berikutnya hingga tidak ada yang well dan sick lagi menjadi dead semua. contoh table:

sikluswellsickdeadsum of years lived (a)survival
(a/b)
check (b)
010,000
170002000100090000.910000
249003200190081000.8110000
9400100000010000

Dari sini lalu dihitung Cost dan QALY nya dari utility dan life years nya orang well dan sick, dengan mempertimbangkan discount untuk cost maupun benefitnya.

Cost Analysis in Health Economic Evaluation

Oleh Ery Setiawan

Konsep dasar dalam ekonomi yakni 1) keterbatasan sumber daya 2) Pilihan, kita harus memilih dan 3) opportunity cost (dengan memilih satu kita berarti mengorbankan pilihan lain dengan sumber daya yang sama)

Terdapat dua jenis perhitungan biaya, yakni economic dan accounting. Accounting cost hanya mengukur yang ada di atas kertas, sedangkan economic cost juga mengukur hal-hal yang implisit, sebagai contoh produktivitas yang hilang. Apa bedanya, cost , fee/charge? kita melihat dari sisi perspective. Pada umumnya cost merupakan perspektif provider, sedangkan fee/charge dengan menggunakan perspektif payer. Fee/ charge bisa lebih tinggi ketika dengan profit, atau lebih rendah ketika ada subsidi.

Metode costing bisa berbeda beda tergantung dengan tujuan. Dalam perhitungan HTA, objek biaya adalah cost of treatment dan cost of productivity (e.g. abstenteeism, dll). Data yang dibutuhkan adalah billing record dan biaya tidak langsung dari perspektif pasien.

Step dalam perhitungan cost analysis, terdiri dari 1) Identfikasi 2) Pengukuran 3) Valuation.

Dalam tahap 1, identifikasi. Terdapat tiga pertanyaan:

  • Dari perspektif siapa? apakah pasien, provider, purchaser/ payer, employer , government, atau societal. Di Thailand sudah ada konversi cost to charge,
  • Biaya apa yang perlu diperhitungkan? Terdapat beberapa kategori: direct medical cost (treatmetn health care) , direct non-medical cost (personal facilities, travel, food house, time loss, informal care, personal care) , Indirect cost (morbidity, mortality cost), dan other sectors (kesejahteraan, pendidikan, dll).
  • Jenis biaya apa? Direct costs (nilai atas barang dan jasa atas intervensi , side effect dll). Dalam direct cost terdiri dari yang direct medical cost dan direct non-health care costs (penunjang-care giver time, transportasi). Contoh konteks Bali, ketika sakit akan ada tambahan membeli sesajen sebagai direct non-health care costs; indirect cost terdiri dari indirect health care costs contohnya adalah ketika sembuh dari kanker dengan semakin panjang hidup tersebut ada komplikasi lain, dan indirect non-helath care cost/ productivity costs, contoh ketika dia sakit dan tidak bisa bekerja, berapa pendapatan yang hilang. Tapi butuh pendekatan lain untuk mengukur opportunity lost ketika seorang PNS yang tetap dibayar meski sakit, sehingga membutuhkan proxy; intangible cost (nilai ketika sedih, ketidakpuasan, dll). Untuk proses HTA, intengible cost dan indirect health care cost belum dihitung

Pengukuran biaya. Bagaimana nilai yang diisi untuk non-market item? sebagai contoh petugas sukarela, hal ini bisa menggunakan nilai zero, rata-rata pendapatan, atau decision makers. Terdapat dua metode dalam menilai non-market labour: 1) menggunakan pendekatan human capital: gaji dari seseorang yang menggantikan pekerjaan atau menggunakan gaji di pasar (UMR) dengan karakterstik yang mirip; 2) Friction cost method: unemployment rate, mortality case dan morbidity case (mekanisme kompensasi baik jangka pendek dan panjang). Bagaimana dengan ibu rumah tangga? keputusan terakhir, hanya menggunakan nilai ART misalnya, tapi masih susah untuk anak sekolah.

Untuk pekerja informal ditanyakan penghasilan rata-rata per hari atau minggu, sehingga menjadi proxy ketika pasien harus datang ke rumah sakit dan hari rawat inap sebagai absen dari kerja. Sedangkan biaya misalnya dia butuh pesawat untuk mendapatkan pengobatan bearti tetap dihitung. Memang nanti ada outlier, dan perlu dilakukan sensitivity analysis dan melihat apakah outlier tersebut memberikan influence terhadap hasil.

Untuk mengambil data biaya bisa dilakukan dengan berbagai cara: 1) retrospektif – prediksi cost setelah intervensi-; 2) model -prediksi cost sebelum dan sesudah intervensi-; 3) prospektif -menggunakan cost aktual dengan wawancara ketika intervensi- ; 4) referensi harga – harga rumah sakit, DRG, dll-

Contoh empiris, pada pasien kanker memiliki fase stabil, progres dan kematian. Terdapat komponen biaya dan utility dari fase stabil dan progress. Satu orang bisa di fase stabil saja, atau juga stabil dan progress. Kemudian, bisa diambil data per siklus untuk biayanya atau rata-rata per orang per perawatan. Terkait indirect cost nya, memang hanya bisa diambil di satu waktu dan ketika diwawancara di saat fase apa (diambil secara paralel ketika turun lapangan untuk ambil data retrospektif, sehingga diambil secara cross-sectional).

Cost valuation. Pengukuran dibagi menjadi dua, yakni Gross/ top down costing dan Micro (bottom-up) costing. Top-down costing merupakan total cost dibagi total beneficieries. Sedangkan Micro costing dimulai dari sumber sumber daya yang digunakan (capital, labour dan material cost) yang kemudian diagregat menjadi total cost. Terkait presisi, micro-costing paling presisi, namun selama ini di HTA dilakukan top-down karena keterbatasan sumber daya.

Perbedaan waktu dalam layanan kesehatan. Karena layanan kesehatan bisa dilakukan dalam waktu yang berbeda. Nilai uang saat ini lebih berharga dibanding tahun depan. Oleh karena itu diperlukan dua pendekatan untuk adjust, karena kita menggunakan data retrospektif, oleh karena itu, kita harus mengubah nilai yang dahulu menjadi sekarang, dengan “present value” . Sedangkan untuk mengadjust nilai saat ini yang diukur untuk ke depan, misalnya sampai 10 tahun atau hingga pasien meninggal, perlu dilakukan “discounted value”. Sebagai referensi saat ini menggunakan discount rates 3% (berdasarkan referensi, inflasi dan perekonomian Indonesia). Yang menjadi masalah adalah ketika hanya dilakukan discounted untuk satu parameter, misalnya cost, maka kesannya terjadi efisiensi, padahal tidak, sehingga benefit juga harus didiscount. Tapi tetap butuh hati-hati dalam interpretasi.

Contoh layout database berdasarkan kunjungan terapi, dengan variable : naam, no rm, perawatan ke , triwulan ke , status, treatmetn, direct medical cost, direct non medical cost, indirect cost. Lalu nanti dicollapse per pasien dengan komponen treatment, hospitalisasi, dan kemo dengan status stabil dan progressive. Contoh:

Average Cost cetuximabAverage Cost hospitalisasiAverage Cost Kemo
Cetux + Folfiri38 juta11 juta7 juta
– Progressive32 juta10 juta6.5 juta
– Stable38 juta12 juta8 juta
Cetux + Folfox41 juta14 juta12 juta
– Progressive44 juta22 juta13 juta
– Stable40 juta13 juta12 juta
Grand total39 juta12 juta9.8 juta

Setelah ditemukan total cost, lalu dibuat present value yang dimasukkan ke dalam model. Nanti di model baru dibuat rumus discountingnya sampai time horizon yang ditetapkan.

Terkait sampel untuk menghitung cost, yang perlu diperhatikan adalah sebaran dalam siklus. Dan perlu diperhatikan bahwa karena unit kita adalah siklus, maka satu pasien bisa mewakili di dua siklus. Dan perlu ditekankan bahwa analisis biaya tidak menguji hipotesis sehingga tidak melihat power, melainkan distribusi data meskipun sampelnya dikit.

(Health-related) Quality of Life Measurement: EQ-5D

Oleh: Fredrick Dermawan Purba, Aulia Iskandarsyah (Fakultas Psikologi, UNPAD)

Ketika berbicara terkait quality of life measurement, banyak terminologi terkait kualitas hidup. Sebagai contoh laporan pasien (PROs), status kesehatan, disabilitas, status fungsi, persepsi kesehatan, dll. Sehingga ketika berbicara terkait utility, harus jelas barangnya dan bisa diukur. Berdasarkan kamus ISOQOL, terdapat 3 hal yang berhubungan dengan kualitas hidup, yakni: kesehatan, penyakit dan treatment. Tiap disiplin ilmu juga bisa mendefinisikan dengan hal yang berbeda. SEebagai contoh dalam ilmu epidemiologi hanya mengukur dua hal, sehat atau sakit, dan punya hidup yang berkualitas atau tidak (objektif). Di psikologi, berfokus pada well-being (subjektif). Sebagai contoh, perbedaannya kalau objektif, kita mengukur berapa pendapatan anda (seharusnya sudah cukup untuk kebutuhan dibandingkan rata-rata), tapi kaalu subjektif, apakah anda puas? jadi subjektif. Untuk health economic, mengukurnya dengan utility.

Terdapat tiga jenis pengukuran: 1) generik (umum); 2) spesifik kondisi; 3) spesifik domain.

Pengukuran generik. Lebih banyak dibutuhkan karena bisa digunakan untuk konteks pasien apapun termasuk populasi yang sehat. Bisa dilakukan di tingkat keparahan apapun dan bisa dibandingkan secara internasional. Terdapat tiga indikator dalam pengukuran: fisik, mental dan sosial. Terdapat dua kelompok :

A. Description: Output pengukuran bersifat deskriptif. pengukuran profil kesehatan (e.g. SF-36, WHOQOL-BREF, PedsQL). Pengukuran yang paling sering digunakan adalah SF-36 dengan skala multiple, kelebihannya profil lebih jelas (bisa diketahui dimensi mana yang terganggu: fungsi fisik, sosisal, emosi, mental, nyeri, kesehatan secara umum, dll dengan nilai 0-100), pengembangannya didasari oleh psikometrik tradisional. Contoh intelegensi (konsep– agregate seseorang untuk berpikri rasional dan bertindak efektif), definisi operaisonal bertindak terarah yaitu memiliki reasoning, bagaiman cara mengukur reasoning (construct), lalu diukur dengan item-item pertanyaan untuk diukur dengan angka. Outputnya adalah nilai dari masing-masing dimensi dan dibandingkan dengan populasi umum.

  • WHOQOL-BREF: catatan saja untuk baca manual karena cara pengukuran nomor item 1 dan 2 yang khusus
  • PedsQL: Untuk mengukur pediatrik, tapi masih perlu diperiksa kembali karena mengukur anak-anak.

B. Valuation (Health classifications): Bisa dibuat klasifikasi/ angka menajdi index “utilities” (e.g. EQ-5D, HUI, SF-6D). Satu angka yang merangkum dari profil kualitas hidup. Nilai “utility” index memberikan hasil 0 setara mati dan 1 kondisi sehat yang optimal. Tapi dimungkinkan terjadi orang pada kondisi tertentu bahwa lebih buruk dari mati (minus). Disarankan yang paling gampang adalah EQ-5D, kenapa? karena pengukurannya per dimensi hanya 1 item. Karena 5 dimensi, klasifikasi score per pasien contohnya 11211. Jadi ada 5 dimensi dengan 5 level. Pengukuran ini dikembangkan dengan tradisi ekonomi bukan psikometrik. Tradisi ekonomi berdasarkan tujuan, butuh single value untuk dimanfaatkan tujuan ekonomi. Sebagai contoh: Dulu ada 6 dimensi dengan kognitif, tapi ditake-out karena tidak sesuai tujuan pengukuran. Untuk uji realibilitas, karena hanya 1 item, maka 1 orang diukur dua kali dengan waktu yang berbeda (dalam 4 minggu, dengan asumsi stabil – tergantung relevansi klinis/ referensi-). Ada perkembangan EQ-5D, yakni EQ-5D-5L (5 level), EQ-5D-Y (Youth) yang sekarang berkembang menggunakan emoticon dibandingkan dengan kalimat dalam aplikasinya.

  • Tambahan: dalam proses pengembangan nilai ada tantangan, sebagai contoh orang Indonesia tidak mau menjawab ketika terkait trade-off kehidupan, lalu ketika dimonitor ada inkonsistensi trend (indikonsistensi antara trade-off dengan persepsi diri atas kesehatan) sehingga di awal banyak data yang buruk.

Pengukuran kondisi yang spesifik. Spesifik, maksudnya bisa diagnosis, treatment atau kelompok usia. Contoh EORTC QLQ-C30 yang untuk mengukur cancer, lalu nanti ketika spesifik breasts cancer, nanti ada item tambahan lain. Sehingga pengukuran dengan alat ini cukup kompleks dan bisa mencapai 54 item. Ada alat pengukuran lain, contoh IMPACT, AQLQ, FertiQoL. Tapi dengan konteks Indonesia menjadi sulit seperti FertiQoL untuk infertilitas, orang Indonesia tidak mau dianggap infertil meski sudah 15 tahun belum memiliki anak, padahal WHO mendefiinisikan 1 tahun.

Pengukuran domain yang spesifik. Pengukuran bukan berdasarkan kondisi tapi hanya mengukur dominan, sebagai contoh: kecemasan, letih dan depresi. Sebagai contoh STAI, HADS, MFI, BDI. HADS, skala depresi dan kegelisahan rumah sakit gampang digunakan, hanya 14 item tapi harus berbayar untuk menggunakannya.

Setelah bisa diukur, bagaimana? outputnya yakni QALYs. Pada intinya mau dilihat bagaimana kehidupan seseorang yang sama panjangnya jika memiliki kondisi tertentu. Contoh: ada orang 80 tahun tanpa sakit, dibandingkan orang 80 tahun tapi mengalami depresi sejak umur 20 tahun. Jadi perlu diukur gabungan panjangnya waktu dan kualitas hidup. Sehingga disebut Quality adjusted life years. Keuntungan adalah untuk perencanaan, penentuan kebijakan terkait prioritas alokasi biaya. Contoh kita ada anggaran 1 triliun, apakah kita mau memberikan kursi roda atau pengobatan breast cancer gratis? Impact ke depannya, lebih berdampak yang mana? Hal ini yang membutuhkan perbandingan apel to apel. Penggabungan life years dan quality of life Contoh: orang buta memiliki kualitas hidup 0.5 , dan hidup selama 80 tahun. Sehingga QALYs adalah 0.5 x 80 tahun = 40 QALYs. Kemudian, bagaimana dengan terapi tertentu untuk orang buta tersebut? sehingga bisa menambah QALY nya. Sebagai tambahan, kita bisa mengukur dengan tambahan biaya, Cost per QALY. Contoh: psikoterapi menambah 5 QALY, mengeluarkan uang 5000, cost per QALY adalah 5000/5 =1000/QALY, dibandingkan terapi insulin menambah 10 QALY dengan 7000, sehingga cost per QALY adalah 7000/ 10 = 700/QALY. Bisa dilihat bahwa lebih murah dengan terapi insulin. Oleh karena itu pengambil kebijakan bisa memilih terapi insulin. Tapi yang jadi permasalahan ketika jika hanya melihat nilai ekonomis, perlu juga dilihat dari sisi etik. Karena ketiak melihat QALY league tables, dilhat bahwa intervensi paling mahal adalah untuk leukemia pada orang uta mencapai 235rb/ QALY hingga yang paling murah viagra yang cuma 5rb/ QALY, atau terapi congenital anorectal amlformations yang cuma 2rb/ QALY. Tapi nilai ini belum ada di Indonesia dan mungkin berubah dengan konteks Indonesia. Namun QALY juga banyak dikritisi, karena memiliki kelemahan untuk membedakan antara seseorang yang lahir buta dengan orang yang buta ketika dewasa.

Apa yang diinginkan untuk pengukuran? 1) Pengukuran kualitas hidup, bukan well-being; 2) pengukuran yang sederhana, dengan EQ-5D; 3) Validasi sosial, karena pasien cenderung memvalue lebih tinggi. Orang yang hidup di bantaran sungai Ciliwung dan Amsterdam. Ternyata kualitas hidup lebih tinggi di Ciliwung, karena standar tingkat kepuasan dibandingkan yang lain sebagai coping mechanism (maturation bias), begitu pula untuk para tax payers yang mencerminkan masyarakat.

Sesuai tujuan pakai nilai 5D nya, dan visual analog scale digunakan hanya untuk memvalidasi (diasumsikan positive correlation). Hal ini untuk memonitor data-data yang dikumpulkan di awal. Sehingga ketika tidak konsisten, perlu dievaluasi lagi. Jikapun ada data inkonsisten, bisa diexclude, asal jangan terlalu banyak tentunya ketika analisis.

Indonesia sudah memiliki tarif value dengan berbagai kombinasi , mencapai 3125 kondisi. Untuk nilai 11111 tentunya index 1. Tapi pada kondisi tertentu, angak minus muncul contohnya 15455, dibandingkan dengan yang 55555. Nanti sudah ada excel dan syntax / do-file setelah didata nilai-nilai tersebut. Tapi yang paling penting adalah bagaimana orang yang diwawancari memberikan informasi yang sesungguhnya, dan pengambil data terlatih dalam wawancara.

Dalam pengukuran diemensi, orang Indonesia lebih mementingkan terkait mobility, usual activities, dan self-care (lebih sensitif). Contoh, orang Indonesia ketika stroke dan tidak bisa jalan kualitas turun drastis dan sedih. Beda dengan orang bule, mobility tidak berpengaruh karena infastruktur memungkinkan untuk tetap jalan. Orang Indonesia tahan mental terkait cemas/ depresi dan nyeri (tidak peka). Hal ini menyebabkan tarif yang berbeda antara orang Indonesia dan Eropa. Sehingga ketika nilai 3 pada mobility di Indonesia sudah menjadi hal yang kritis. Sudah banyak publikasi terkait pengukuran kualitas hidup untuk konteks Indonesia.

Pertanyaan berikutnya, kapan diukur? idealnya dilakukan tepat saat dilakukan intevensi dan sesuai kontekstual. Contoh era BPJS, kepuasan obat paling rendah kepuasannya, hal ini karena farmasi dilakukan di akhir dalam proses bisnis dan responden biasanya sudah lelah yang antri dan tidak puas. Tapi masalahnya hal ideal ini susah dilakukan, sehingga ketikapun hanya bisa dilakukan setelahnya, perlu justifikasi dari klinisi kapan sebaiknya diukur. Atau tergantung tujuan juga, misalnya membandingkan dua intervensi, antara prasetamol generik dan panadol untuk menurunkan nyeri, harus ada data tambahan untuk pengambilan datanya, terkait waktu pengambilan data, berapa jam setelah terapi diambil datanya. karena kalau terlalu lama mungkin akan menghasilkan outcome yang sama.

Di akhir beliau menyampaikan sudah banyak penelitian terkait pengukuran kualitas hidup untuk konteks Indonesia.

Missing Data

Oleh Alfi Yasmina

Missing data dapat terjadi pada seluruh jenis studi. Hal ini mempengaruhi validitas dan presisi hasil penelitian. Terdapat beberapa jenis missing values: Missing completely at Random. Artinya data benar-benar tidak tercatat karena hal-hal yang tidak berhubungan dengan apapun pada studi. Sebagai contoh ketika hendak mau diukur, batreinya habis. Tapi hal ini jarang terjadi. Data ini biasanya dibuang jika sample size nya besar, jika sampel size nya kecil akan meningkatkan terjadinya type 2 error

Missing at random. Peluang observasi yang missing bergantung atas observasi value hal lain (e.g. karakteristik pasien). Contoh data hilang karena data timbangan yang hilang karena surface. Bisa dilakukan multiple imputation untuk mengatasinya.

Missing non at random. Probabilitas observasi yang missing tergantung dari observasi dan yang tidak diobservasi. Hal ini menjadi sulit karena ketika regresi imputasi tidak ada data external. Oleh karena itu jangan dilakukan imputasi juga. Belum ada kesepkatan metode untuk mengatasi MNAR.

Metode untuk mengatasi missing data bisa dilakukan dengan beberapa cara:

  • Memperbaiki desain studi atau collection: pencegahan lebih baik dari pengobatan
  • Melakukan analisis data lengkap saja
  • Melakukan analisis yang tersedia.
  • Missing case indicator. Metode yang dikembangkan untuk penelitian etiologic untuk missing confounders.
  • Imputasi: dengan menggunakan nilai mean/ median, atau single/ multiple regression based imputation. Biasanya lebih dari 5x atau dengan komputer bisa lebih dari 100x.
  • Inverse probability weighting.

Kapan kita tidak melakukan imputasi? ketika terjadi missing no at random. Ketika variable kunci untuk menentukan imuptasi juga tidak ada. Imputasi ketika data missing lebih dari 20% atau 50%.

Instruments & Case Report Form

Oleh Alfi Yasmina

Secara singkat dokter Alfi menyampaikan bahwa instrument harus valid (secara akurat mengukur) dan realible (memberikan hasil yang konsisten). Sehingga perlu piloting dan testing ketika mengembangkan instrumen, termasuk dilakukan re-checking ketika berbeda populasi atau bahasa.

Pendokumentasian yang bagus terdiri dari ALCOA

  • Attributable: dapat ditelusuri orang, tanggal dan kunjungan subjek
  • Legible: jelas untuk dibaca
  • Contemporaneous: dicatat ketika terjadi
  • Original: tidak boleh ada modifikasi atau tipex sebagai contoh ketika ada koreksi.
  • Accurate: seluruh rincian data adalah benar

Case report form adalah “a printed, optical, or electronic document designed to record all the protocol-required information to be reported to the sponsor on each trial subject”. Tujuan dari case report form adalah untuk mengumpulkan data untuk analisis di tempat investigas yang disampaikan di protokol. Hal ini membantu tim untuk mengingatkan investigator untuk melakukan evaluasi, sponsor untuk melakukan evaluasi terhadap kepatuhan dan sumber data, dan data manajemen untuk membuat database, membuat check list dan programming.

Format dari CRF terdiri dari header: protokol ID, site code, subject ID, dan inisial pasien. Footer: investigator signature, tanggal signature, nomor versi, dan page number. Konten di halaman utama, dan standar template for similiar informaiton contoh inclusion criteria, exclusion criteria, demography, dll.

Yang perlu diperhatikan ketika membuat CRF adalah mudah digunakan, sebagai contoh manual ada disebelah kuesioner, sehingga langsung bis dilihat. Dibuat kotak-kotak pengisian sehingga mengurangi free text. Hindari pertanyaan melompat karena sering membingungkan. Format juga harus dibuat secara konsisten, sebagai contoh satuan temperatur harus dibaut sama dan jelas.

Terkait apa kelebihan dan kekurangan elektronik CRF. Elektronik CRF cocok untuk studi yang besar. karena membutuhkan waktu yang pendek, memiliki built in data checks, error yang diminimisasi/ duplikasi, mudah digunakan , instan dan terhubung. Sedangkan kekurangannya karena keterbatasan saran prasana, seperti internet, inovasi, kompleks dalam instalasi dan butuh biaya yagn tinggi untuk investasi dan pemeliharaan.

Observational studies and their use in HTA

Oleh: Alfi Yasmina

Ada beberapa jenis dalam hubungan pada sebuah studi:

  1. Tidak ada hubungan
  2. Hubungan yang salah
  3. Hubungan tidak langsung (confounding factors)
  4. Hubungan langsung (yang diharapkan)

Dalam pengambilan data, ada bebeapa sumber data yang bisa digunakan:

  • RCT, data yang terkontrol.
  • Pragmatic clinical trials. Pengambilan data sesuai yang terjadi di praktis klinis.
  • Patient registries.
  • Claims database. Inginnya ada data dari asuransi kesehatan BPJS, tapi ternyata tidak terhubung dengan data rumah sakit, sehingga masih sulit
  • Population health survey.
  • Electronic (atau manual) health records. Pada kenyataannya harus mengambil data dari rekam medis dan bisa datanya bergunung -gunung untuk satu pasien. Oleh karena itu masih sulit.

Evidence-based medicine, mengatakan bahwa meta analysis dan RCT merupakan yang paling baik. Namun pertanyaannya apakah ada? oleh karena itu diperlukan observasional study. Hal ini karena ada beberapa kekurangan dari observasi study, yakni adanya confounding variables (e.g. karena memang tidak ada sumber dayanya, dan alasan lain), ada kecenderungan bias seperti selection bias, misclassification bias, recall bias, subjek yang heterogen (meski bisa jadi kelebihan juga karena sesuai praktis), dan data yang tidak lengkap (meski sebenarnya RCT pun tetap ada kemungkinan lost to follwo up).

Di sisi lain, sebenarnya observasional study juga punya kekuatan, yakni populasi yang lebih besar, follow-up yang lebih panjang, representasi dari praktek klinis yang ada (tidak ada kriteria eksklusi yang ketat), karena longer follow-up sehingga bisa diambil kejadian akhir yang diharapkan -clinical endpoints-, secara relatif lebih murah dan cepat dibandignkan RCT, secara etik lebih rendah restriksinya, dan kejadian adverse effect yang jarang muncul bisa dilihat.

Jenis observasional study:

  • Cohort study. Ada bias: selection bias. Non-response bias untuk prospektif terutama, ketika dilempar 1000, yang respon cuma 200. Kita tidak bisa memastikan apakah orang yang tidak respon memiliki karakteristik yang sama dengan yang respon. Health entrant effect, yakni ketika awal observasi kecenderungan sehat, tapi dengan berjalannya waktu bisa semakin tinggi hubungannya karena morbiditasnya makin tinggi.
  • MIsclassificaiton bias. Variable bebas (exposure) yang tidak ada standar, sehingga setiap orang bisa berbeda-beda. Contoh progress, apakah metastasis, atau ukuran, dll. Immortal time bias, ketika pasien waktu kematiannya dihitung dari diagnosis, bukan pertama kali terapi (misclassified immortal time approach). tapi kalau dikeluarkan waktunya dari diagnosis hingga terapi disebut (selection bias- excluded immortal time approach-) . Immeasurable time bias: ketika pengukuran dilakukan dari satu sumber yakni contohnya dari primary care, namun ketika dirawat di rumah sakit diberikan obat, tapi tidak tahu apakah dapat obat atau tidak, sehingga ada asumsi bahwa orang tersebut tidak mendapatkan obat dan menyebabkan mati.
  • Information bias. Ketika ada subjektifitas dalam menilai sesuatu, contoh radiologi memberi justfikasi bagus ketika dalam terapi atau mencari permasalahan ketika sedang kontrol saja.
  • Recall bias. Contoh ibu yang mengalami anak cacat, cenderung memiliki ingatan yang lebih baik selama kehamilan, obat apa yang diminum atau yang terjadi. Dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak sehat.
  • Attrition bias. perbedaan proporsi yang lost to follow up dan yang tidak.
  • Reverse causality. Temporality, seharusnya kejadian bebas harus terjadi dulu, sebelum event. Sehingga perlu mengetahui biological process nya.

Tantangan dalam pengambilan data real-world untuk HTA.

  • Planning: Protokol metode, inginnya prospektif tapi tidak memungkinkan. Sehingga ketika retrospektif dilakukan bagaimana mengatasi limitasi tadi.
  • Sumber data. Bagaimana ketersediaan sumber data, contoh RM yang kadang tidak ada ditempat karena berada di tempat lain, dll. Menghubungi pasien dan keluarga untuk menanyakan keuangan dan kualitas hidup sangat sulit.
  • Akses data. Seringkali isu administratif terkait ethical clearance butuh waktu lama, atau catatan elektronik dan non-elektronik dimana tidak ada ID unik untuk menghubungkan semua data. Sebagai contoh di PA tidak ada nomor RM, hanya ada nama yang perlu dicocokkan dengan data RM. Terkadang diagnosisnya juga tidak ada.
  • Kualitas data. Perlu pelaithan enumerator dengan panduan yang jelas, motiviasi, honor yang cukup dan memastikan data tidak missing. Ketika verifikasi, pemindahan dari sumber data ke case report form perlu dipastikan tulisannya bisa dibaca. Lalu terakhir validasi oleh expert. Memastikan apakah pasien sudah mencapai outcome atau sensor. Sebelum masuk juga disetting untuk verifikai oleh sistem, contoh range umur, tensi, dll.

Dengan berbagai kekurangan dan tantangan ini, kita perlu memperbaiki sistem sebagai contoh linking database. Usulan juga bahwa ada baiknya peneliti diberikan waktu yang lebih panjang, sehingga peneliti bisa melakukan dengan baik dan tidak terburu-buru.