Sumber: http://lampung.antaranews.com/berita/282405/mahasiswa-indonesia-di-inggris-kaji-pembenahan-bpjs
Revisi: Firdaus Hafidz mahasiswa University of Leeds, bukan York seperti berita di bawah.
Bandarlampung (ANTARA Lampung) – Lingkar Studi Cendekia Inggris Raya, sebuah kelompok diskusi yang digagas oleh para pelajar Indonesia di Inggris Raya pada seri ke-4 menggelar sebuah diskusi yang bertajuk Problematika Jaminan Kesehatan di Indonesia.
Menurut mahasiswa Indonesia di Inggris asal Lampung, Arizka Warganegara, dalam penjelasan tertulis diterima di Bandarlampung, Rabu (17/6), menjelaskan pada diskusi yang mengkaji Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)Kesehatan yang dilaksanakan pada Minggu (14/6) di Huddersfield Inggris, para mahasiswa yang bergabung dalam Lingkar Studi Cendekia United Kingdom memberikan beberapa masukan penting.
Diskusi kali ini, menurutnya, sangat spesial karena dihadiri banyak pegiat lingkar studi dari berbagai universitas, seperti M Haikal Karana dan Aswin Siregar dari Leeds University, Herri Mulyono dari York University, Nur Wanto, Sartini Wardiwiyono, dan Anom dari Huddersfield University, dan Dzulfian dari Warwick University, dan beberapa mahasiswa asal Indonesia di Inggris lainnya.
Tiga poin masukan yang menjadi catatan kritis adalah pembenahan tata kelola, adanya political will dari pemerintah, serta pemberlakuan universal health care.
Poin pertama disampaikan oleh Hafidz Firdaus, kandidat doktor Ekonomi Kesehatan dari University of York, “BPJS harus diakui masih memiliki beberapa kekurangan seperti lemahnya sistem pengawasan di lapangan, sehingga menimbulkan calo-calo pendaftaran BPJS, sistem rumah sakit yang belum seluruhnya terintegrasi dengan BPJS dan tata kelola anggaran yang masih belum sempurna. Oleh karena itu diperlukan sebuah pembenahan dari sisi operasional secara menyeluruh dari pemerintah pusat hingga daerah.”
Selain itu, menurut Giovanni Van Empel dari University of York bahwa “Indonesia dapat belajar dari Thailand, dan negara di Eropa lainnya yang berhasil justru mengandalkan penerimaan pajak secara penuh. Indonesia perlu mengubah sistem yang ada, karena selama ini masih mengandalkan iuran individual. Pengenaan pajak baru, misalnya pajak makanan yang berbahaya bagi kesehatan (fat tax) dan pajak lainnya bisa menambal kebocoran anggaran BPJS ke depannya.”
Para pembahas diskusi ini menyatakan, tidak kalah menarik adalah perlu dukungan politik dari semua aktor di lapangan, terutama pemerintah daerah.
Dzulfian, mahasiswa University of Warwick menimpali, “Kasus di Bali, misalnya, dapat terselenggara dengan baik karena aktor daerah seperti bupati memberikan dukungan penuh, political will dari pemerintah daerah ini menjadi hal krusial dari keberhasilan BPJS.”
Solusi terakhir yang ditawarkan oleh para peserta diskusi menyangkut tentang penerapan universal health care, atau jaminan kesehatan yang bersifat menyeluruh tanpa memandang kelas sosial, seperti di Inggris dengan NHS (National Health Service)-nya.
“Saat ini pemerintah masih menerapkan perbedaan perlakuan terhadap tiga kelas sosial yang berbeda, sehingga wajar apabila BPJS justru digunakan lebih banyak oleh kelas menengah. Padahal awal peruntukan BPJS untuk membantu kelas bawah. Alhasil pemerintah sempat kesulitan memikirkan anggaran yang semakin membengkak,” ujar Bhima Yudhistira, mahasiswa University of Bradford.
Sebagai penutup, Hafidz Firdaus mencoba merangkum seluruh diskusi dengan optimisme BPJS sebagai sebuah program pemerintah yang harus terus didukung oleh berbagai kalangan, “Bukan berarti dengan segala kelemahan yang terdapat di dalam BPJS lalu kita tidak mendukung, justru ini merupakan program dengan tujuan yang baik, hanya perlu disempurnakan lagi.”
Editor: Budisantoso Budiman
COPYRIGHT © ANTARA 2015