Tingkatkan Kerjasama, Perlu Sosialisasi

Sumber: Koran Merapi, 22 Desember 2014

Seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019 akan tergabung dalam jaminan kesehatan nasional (JKN). Untuk mendukung target pemerintah yang sangat ambisius itu, diperlukan kerjasama dari semua lini masyarakat. Hal ini menjadi penting karena, seluruh masyarakat memiliki hak yang sama untuk akses layanan keshatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Oleh karena itu, meski akan ada banyak tantangan ke depan, badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) kesehatan akan segera beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014.
Menurut peneliti di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Managemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada (UGM), Firdaus Hafidz, JKN perlu terus disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pada tahap awal, peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan yang selama ini melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), anggota TNI dan Polri beserta anggota keluarganya, pesrta asuransi kesehatan PT Askes beserta anggota keluarganya, serta peserta dan anggota keluarga jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) akan digabung dan dikelola oleh BPJS Kesehatan. Masyarakat yang sudah mempunyai kartu keanggotaan yang masih berlaku tersebut, otomatis langsung terdaftar dan dapat memanfaatkan program JKN. Sedangkan masyarakat yang belum terdaftar dalam JKN, harus mendaftarkan diri secara aktif. “Manfaat yang diberikan dalam program JKN bersifat komprehensif mencakup pelaynaan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sehingga hamper semua layanan kesehatan tercakup,” terang Hafidz kepada Merapi belum lama ini.
Ambisi pemerintah ini tidak serta merta mulus bagai jalan tol. Banyak kendala yang harus dihadapi termasuk mensosialisasikan ke tenaga kesehatan. Semua lini, lanjut Hafidz, harus mendapatkan sosialisasi. Apalagi bagi tenaga kesehatan yang mungkin bingung akan mendapatkan bayaran berapa setelah JKN diberlakukan. Hal tersebut juga sudah dirinci pemerintah dalam PMK Nomer 69 tahun 2013 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Program Jaminan Kesehatan Nasional. “Semuanya sudah jelas dalam tinggal bagaimana petugas kesehatan mengelola keuangannya agar efisien sesuai koridor tariff yang berlaku, namun tetap menjaga mutu layanan,” terangnya.
Ia menambahkan jangan sampai JKN tidak dimengerti pemanfaatannya oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama tingkat kesadaran masyarakat masih rendah untuk mengobati penyakitnya ke fasilitas kesehatan. Sebagian masyarakat Indonesia masih lebih memilih pengobatan tradisional atau penyembuhan alternatif. Kedua, tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah terhadap informasi jaminan kesehatan terutama terkait manfaat, dan prosedur penggunaaannya. Ketiga, masalah geografis berpotensi menyebabkan masyarakat tidak bisa menjangkau pelayanan kesehatan. Keempat, persepsi masyarakat terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Masih banyak orang yang berpersepsi, bahwa mereka akan mendapatkan pelayanan yang berbeda dan mungkin lebih buruk jika menggunakan jaminan kesehatan.
“Bisa jadi nantinya orang-orang diperkotaan yang lebih memanfaatkan layanan tersebut karena lebih dekat dengan pelayanan kesehatan. Tapi disisi lain orang-orang di pedesaan susah mengakses,” paparnya.
Data yang diperoleh KP-MAK prosentase masyarakat yang menggunakan Jamkesmas tahun 2011 hanya 6,52 persen per orang per bulan secara nasional di tingkat layanan kesehatan primer. Sedangkan untuk tingkat DIY pemanfaatan Jamkesmas sebanyak 13 persen. Untuk pemanfaatan Jamkesmas bagi pasien Rawat Jalan Tingkat Lanjut di tingkat nasional sebesar 0,51 persen sedangkan di DIY sebesar 1,02 persen per orang per bulan.
Saat ini Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kesehatan (TNP2K) sudah membuat data berdasarkan nama dan alamat masyarakat yang miskin. Namun data tersebut bisa saja berubah karena perubahan populasi penduduk yang dinamis. “Semuanya terus berproses, namun saya rasa usaha Kementerian Kesehatan sudah sangat bagus untuk mengatasai hal tersebut dengan membuat data by name dan by address penduduk yang miskin,” imbuhnya.
Hafidz menambahkan untuk lokal DIY sendiri pelayanan kesehatan sudah cukup bagus dan merata dibandingkan kondisi daerah lainnya di Indonesia. Menurut data riset fasilitas kesehatan tahun 2011, DIY menempati posisi pertama nasional dari sisi kesiapan sarana dasar dan fasilitas penunjang di Puskesmas. Bahkan sebagian besar Puskesmas di DIY sudah memiliki dokter lebih dari 2. Pasalnya meski populasinya besar namun luas wilayahnya tidak cukup luas. Apalagi pelayanan kesehatan di DIY termasuk rumah sakit yang ada sudah lengkap ada rumah sakit tipe A dan tipe B dan ketersediaan beragam dokter spesialis dan sub-spesialis yang ada di DIY.
Kendala lain yang akan dihadapi dalam pelaksanaan JKN yakni tingginya masyarakat informal sektor atau masyarakat bukan penerima upah. Tahun 2102 hampir 62 persen masyarakat Indonesia merupakan masyarakat penerima bukan penerima. Yakni masyarakat yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri seperti pedagang kaki lima, tukang becak, petani, dan lain-lain. Mereka ini dinilai tergolong masyarakat yang memilki pendapatan tidak pasti setiap bulannya, sehingga dapat berpotensi untuk tidak bisa rutin membayar premi.
Hingga saat ini sosialisasi di kalangan tenaga kesehatan pun terus dilaksanakan. Termasuk dokter-dokter yang melayani Askes dan Jamsostek juga akan mendapatkan sosialisasi. Menjaga efisiensi dan mutu dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat juga menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan JKN. Ia menambahkan melalui JKN, pemerintah ingin semua rakyat berpartisipasi dalam mendukung jaminan kesehatan nasional. Hal ini berarti masyarakat bergotong royong mengatasi beban biaya kesehatan. “Jangan sampai masyarakat salah persepsi karena JKN merupakan asuransi sosial, bukan seperti di asuransi komersial” tandasnya.

4 pemikiran pada “Tingkatkan Kerjasama, Perlu Sosialisasi

  1. Asslm… Mas hafidz, mhn pendapat mas terkait pasal 19 PMK No. 71/2013. Disana dijelaskan bahwa obat & BHP u/ pelayanan JKN ditanggung oleh BPJS kecuali alat kontrasepsi, vaksin u/ imunisasi dasar & obat program pemerintah. Jk pasal ini di sandingkan dg PMK no.69/2013 mk u/ kapitasi bagi PUSKESMAS besaran 3.000 s/d 6.000 sudah termasuk komponen obat & BHP didalamnya kecuali yg telah dijelaskan dlm psl 19 PMK no.71/2013 tsb. Jika hal ini kita hub lg dg sisitem penggaran APBN/APBD kab/kota tempat PUSKESMAS bernaung maka dpt disimpulkan bahwa anggaran operasional yankes U/ pasien peserta JKN di PUSKESMAS harus bersumber dari kapitasi yg dibayarkan BPJS setiap bulan kpd PUSKESMAS atau tidak boleh menggunakan dana APBD/APBN karena dana APBD/APBN telah digunakan u/ membayar premi peserta PBI.
    Jika demikian maka akan ada masalah karena seluruh obat yg tersedia di PUSKESMAS pada umumnya adalah berasal dari APBD/APBN karena walaupun BPJS membayarkan kapitasi bulanan maka obat yg berasal dari sumber anggaran kapitasi BPJS tidak akan tersedia. Hal ini dikarenakan u/ melakukan pengadaan obat JKN dg e-catalog sesuai dg juknis dlm perpres 70/2012 membutuhkan waktu lebihkurang 3 bulan ( ini pengalaman sy sbg pejabat pembuat komitmen ).
    Jika kita akan secara ideal atau konsisten melaksanakan PMK 71/2013 maka seharusnya seluruh pasien yg menggunakan kartu JKN haruslah dirujuk karena obat ( yg bersumber dari kapitasi yg dibayarkan BPJS ) belum tersedia atau angka rujukan mjd 100%.
    Ternyata kemenkes tidaklah konsisiten dg keputusannya mas, karena tertanggal 16 Des 2013 kemenkes mengeluarkan PMK no.84/2013 ttg juknis DAK Kesehatan 2014. Dlm lampiran PMK no.84 ini pd bab V subbidang pelayanan kefarmasian poin A nomor 1. Persyaratan umum u/ penyediaan obat dan perbekkes/BMHP huruf a&b menyatakan bahwa dana DAK yg notabene APBN/APBD digunakan u/ pembelian obat & BHP u/ melayani pasien JKN di PUSKESMAS atau jika kita sandingkan dg PMK No.69/2013 berarti kapitasi yg dibayarkan BPJS adalah minus/tidak termasuk komponen obat di dalamnya. Hal ini secara kebijakan anggaran mjd tdk masalah karena mmg seperti inilah proses penganggaran di daerah.
    Dua hal diatas adl kebijakan dari kemenkes yang ambigu atau terkesan asal-asalan. Kami di daerah mjd was-was mas karena jk PMK 71/2013 yg digunakan maka kami akan dikesankan membangkang kebijakan pemerintah, jika kami lakukan maka kami akan dituduh duplikasi anggaran yg berpotensi merugikan negara.
    Maaf mas, sy mohon komentarnya…..

    • Terimakasih Pak Sudarsono atas komentar dan diskusi yang sangat menarik terkait PMK yang telah terbit selama ini. Saya pikir, ini merupakan masukan konkrit untuk pemerintah ketika membuat regulasi.

      Kebetulan saya sempat mengikuti seminar penghitungan kapitasi di akhir tahun 2013. Untuk puskesmas, komponen obat dikeluarkan dari kapitasi sehingga menyebabkan kapitasi yang lebih rendah dari kapitasi sektor swasta. Namun memang pada PMK 71 maupun 69, hal ini tidak dijelaskan secara spesifik perbedaan komponen swasta dan puskesmas sehingga menyebabkan perbedaan kapitasi tersebut. Sehingga obat untuk peserta JKN tetap sesuai dengan PMK 84 tersebut, dan tidak terjadi duplikasi anggaran dan tidak menyebabkan rujukan 100%.

      Apakah e-catalog di daerah bapak sudah berjalan?

    • Saya juga penasaran dan belum pernah melihat kontrak kerjasama antara Puskesmas/ Dinkes dengan BPJS? apakah di dalamnya secara eksplisit bahwa kapitasi juga termasuk obat?

  2. E-catalogue di daerah kami sudah berjalan mas semenjak tahun kemarin. Menurut sy Yg menjadi masalah dari e-catalog adalah masih lamanya leadtime pengadaannya dan ketersediaan obat yg diproduksi pabrik yg belum sesuai dg kebutuhan karena masih belum akuratnya RKO yg dikirimkan daerah sebagai dasar pelelangan oleh LKPP untuk kesepakatan kontrak payung dengan perusahaan produsen obat.
    Terkait kontrak antara bpjs dg dinkes kab/kota pd Des 2013 yg lalu, sy kebetulan ikut dalam rapat negosiasi besaran kapitasi yg akan di bayarkan oleh bpjs kesehatan kpd dinas kesehatan. Pada kesempatan itu kepala BPJS Kesehatan wil Kep. BABEL, dalam makalah yg di paparkannya menjelaskan bahwa salahsatu komponen biaya dlm kapitasi yg ibayarkan pihaknya termasuk pelayanan obat di dalamnya. Oleh karena itu, kami di pemda kota Pangkalpinang terkait kapitasi dan pelayanan kesehatan bagi peserta JKN di seluruh Puskemas milik pemda kota Pangkalpinang merujuk pada PMK 69 & 71 tahun 2013.
    Untuk mengurangi ” gesekan” ini, kami mengambil kebijakan untuk mempersiapkan puskesmas dan gudang farmasi menjdi PPKBLUD….
    Jika tdk keberatan sy akan kirimkan slide terkait kajian kami terkait transisi kebijakan ysnkes didaerah kami dari sebelum dan sesudah era JKN. Tlg saya di kirimkan almt emailny di 081367040769 Tq

Tinggalkan Balasan ke Sudarsono.Apt Batalkan balasan